Ads
Mutiara

Imam Kaum Tradisi

Memilih “stabilitas”, dan lugas dalam fatwa, Imam Malik berpegang hanya pada “yang jelas” tapi memahami kepentingan umum.

Rombongan oposan datang menghadap Imam Malik di Madinah. Mereka berharap, Imam mengeluarkan resolusi melawan Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah kedua Abbasiah yang sewenang-wenang.

“Tahukah kalian, apa yang mendorong Umar ibn Abdil Aziz (khalifah Umaiyah yang saleh, sebelum Abbasiah) menolak penggantinya yang saleh?” Itu jawaban Malik. “Dia juga memberikan baiat kepada Yazid (ibn Abdul Malik): khawatir, kalau baiat diberikan kepada orang lain, negeri akan kacau, karena Yazid akan membunuhi rakyat dan melakukan banyak tindakan represif dan destruktif.”

Malik benar: Al-Manshur kemudian menggulung kelompok-kelompok yang terang-terangan, atau potensial, melawan kekuasaannya. Imam yang kabarnya hampir tidak pernah ke luar kota ini berpegang pada prinsip: bahaya yang ditimbulkan akibat menentang pemerintah lebih besar daripada bahaya sikap sabar terhadap kezalimannya. Tidak seperti Abu Hanifah, Malik menghindari  sikap  revolusioner dan lebih mementingkan “stabilitas”.

Sikap itu juga terlihat pada fatwa-fatwanya yang menyingkiri masalah kebobrokan peradilan. Menurutnya, peradilan adalah urusan pemerintah atau hakim — dan mempersoalkannya hanya akan mengajak orang memberontak atau merusak wibawa pemerintah. Dia tidak akan berfatwa sekitar peradilan kecuali diminta penguasa — dengan fatwa yang jujur.

Memang tak berarti Malik sekadar seorang yang tunduk kepada pemerintah. Pada usia 25 dia berurusan dengan gubernur Madinah, Ja’far yang keponakan Khalifah Manshur. Ibn Jarir meriwayatkan, ketika  ada di antara yang berbaiat kepada Al-Manshur menuturkan kepadanya, “Kami tidak boleh tidak harus membaiatnya,” komentarnya: “Kalian berbaiat secara terpaksa. Orang yang dipaksa tidak wajib memenuhi janji setianya.”.Itu berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w. tentang ketidakabsahan cerai paksa.

Pak Gubernur, yang ditugasi memobilisasi baiat penduduk kepada khalifah baru, meminta Imam menarik fatwanya. Ditolak. Ganjarannya: 70 cambukan di punggungnya, dengan tuduhan merendahkan martabat Gubernur. Dengan baju berlumuran darah Malik dinaikkan ke punggung unta dan diarak keliling Madinah.

Memang, mendengar kejadian ini Manshur lalu mencopot Ja’far dan menyuruhnya minta maaf kepada Imam. Sebaliknya, khalifah ini pernah mengiriminya 3.000 dinar untuk biaya perjalanan ke Baghdad. Uang itu dikembalikan. Katanya: dia malas berpergian, lebih suka tinggal di dekat Makam Nabi. Itu memang benar.

Masih di zaman Abbasiah, tapi belakangan, di masa Harun Ar-Rasyid — penggiat ilmu dan peradaban yang masyhur. Rasyid dan kedua putranya, Amin dan Ma’mun, bertandang ke Madinah pada 174 H. Dia ingin mendapat ceramah mengenai Mawaththa’ — karya monumental Malik yang menghimpun hadis Nabi bersama ucapan para sahabat dan tabiin. Dikirimkanlah utusan. Imam memang memenuhi undangan Rasyid, tapi menolak berceramah. Katanya: “Rasyid leluhur Anda selalu menghormati pengajaran hadis, seorang yang akan menaruh hormat lagi. Rasyid, manusialah yang mendatangi ilmu. Bukan sebaliknya.” (Di belakang hari, kalimat terakhir itu akan diulangi oleh Imam Bukhari kepada penguasa zamannya.)

Terpaksa Khalifah datang ke balai pengajaran Malik. Tapi dia minta orang-orang pergi. “Khalifah, cobalah Anda mengerti,” kata Malik. “Tak mungkin, dong,  saya mengorbankan kepentingan umum demi satu orang.“ Kepalang basah, Rasyid anak-beranak nimbrung ke rakyat biasa.

Malik 13 tahun lebih muda dari Abu Hanifah, adalah penegak hukum Islam dari aliran tradisi—–meski fatwa-fatwanya, selain bersandar pada Alquran, Sunnah dan Ijmak sahabat, juga mengambil dasar mashlahah (kemaslahatan) dan ‘urf (kebiasaan) penduduk Madinah. Berlawanan dengan Abu Hanifah, dia hanya sedikit menggunakan ra’y, rasio. Berpegang terutama pada hadis dan fatwa Abu Bakr, Umar, Ustman, Ibn Abbas, Aisyah, dan Abu Hurairah, ia orang yang ekstra hati-hati — yang prudent, hanya mengambil yang sudah jelas. Ini sejalan dengan ajaran Nabi: “Tinggalkan yang meragukanmu dan pilih yang tidak membuatmu bimbang.”

Dilahirkan di Madinah, 93 H., Malik adalah putra ibu- bapak asal Yaman. Ia hidup dalam keluarga yang semuanya ahli hadis dan mengenal  baik berita (atsar) para sahabat. Kakeknya, Malik ibn Abi Amir, adalah seorang tabii besar. Saudara-saudara dan paman-pamannya berkecimpung dalam fikih. Malik sendiri dikabarkan punya 1.300 murid. Selain beberapa khalifah Abbasiah, orang terkemuka yang pernah mengikuti majelisnya antara lain Imam Abu Hanifah (w, 150 H), Imam Syafi’I (lahir 150 H)., juga belajar pada murid Abu Hanifah), Imam Sufyan Tsauri , dan Qadi Muhammad Yusuf.

Di antara ucapan Malik (wafat 11 Rabiulawal 179, dalam usia 86): orang tidak akan mencapai puncak kemenangan intelektual kecuali setelah bergulat dengan kemiskinan. Kemiskinan, bagi imam yang santun ini, adalah ujian hakiki manusia. Diriwayatkan, selagi menuntut ilmu, ia pernah kehabisan ongkos dan terpaksa menjual sesuatu. Apa? Salah satu tiang rumahnya!

Sumber: Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisional dan Modernis (1986); Khwaja Jamil Ahmad, Hundred Greater Muslims (1984).

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda