Sikap kritis Darwis terhadap lingkungan keagamaan di Yogya ini tumbuh sepulang dari Mekah. Keturunan Maulana Malik Ibrahim ini prihatin melihat berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan takhayul, bid’ah dan khurafat.
Di sebuah gerbong dalam sebuah perjalanan kereta api di Jawa, seorang pria Jawa tampak asyik membaca sebuah kitab, yang mungkin tampak asing bagi para penumpang di situ, kecuali seorang asing yang duduk persis di hadapannya . Membaca di perjalanan memang bisa mengusir kebosanan, tapi sebuah bacaan berat mungkin tidak terlalu tepat sebab bisa-bisa bikin kepala penat. Tapi mungkin bukan itu yang membuat heran orang asing yang duduk berseberangan dengan orang Jawa tadi. Sebab yang mengherankannya adalah ini: ada seorang pribumi yang bisa membaca kitab yang sangat ilmiah itu. Merasa tertarik dia pun mengajak berkenalan dan mereka pun terlibat pembicaraan yang serius.
Cerita itu, dikatakan Deliar Noer (1980), amat populer di kalangan pimpinan Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dua organisasi Islam modern yang lahir pada awal abad ke-20. Tidak syak lagi, orang Jawa yang membaca kitab tadi tidak lain adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan hoofdbestuur Persyarekatan Muhammadiyah. Kitab yang dibacanya Tafsir Al-Manar, karangan Syaikh Muhammad Abduh, pembaru pemikiran Islam dari Mesir. Sedangkan orang asing yang duduk di hadapannya adalah Ahmad Soorkatti asal Sudan, pendiri Al-Irsyad. Di bordes kereta itu pula mereka berjanji akan bekerja untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan Abduh di dalam masyarakat masing-masing yaitu kalangan Arab dan Indonesia.
Dari kisah itu juga bisa disimpulkan bahwa pada tahun 1912, ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November, dia sudah mengetahui pemikiran-pemikiran Abduh. Pemikiran-pemikiran dari pembaru Mesir inilah Ahmad Dahlan memperoleh rangsangan untuk memperluas pembaruan yang dilakukannya, yang mula-mula hanya terbatas pada praktek-praktek lahiriah seperti kiblat dan kebersihan kemudian berkembang ke masalah-masalah fundamental dalam umat Islam, yakni tentang persoalan apakah ijtihad sudah tertutup atau belum.

Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1869. Semula dia bernama Muhammad Darwis. Ayahnya KH Abu Bakar bin Haji Sulaiman, adalah khatib amin di Masjid Keraton di Kauman, Yogyakarta, yang masih keturunan Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan ibunya, Siti Aminah, adalah putri seorang penghulu Keraton. Darwis adalah anak keempat dari tujuh bersaudara.
Darwis kecil tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Ia menunjukkan kelebihan dari anak-anak Senang membaca, dan salah satu bacaannya adalah majalah Al-Manar yang berisi ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Ia menerima majalah itu dari seorang kawan di Jamiat Khair, perkumpulan orang-orang Arab “progresif” di Jakarta, dan biasanya ia mendiskusikan isi majalah itu dengan teman-temannya.
Selain itu, ia belajar ilmu-ilmu agama kepada sejumlah ulama, antara lain fikih kepada KH Muhammmad Shaleh, nahwu (KH Muhsin), ilmu falak (KH Raden Dahlan), hadis (Kiai Mahfud dan Syeikh Khayyat), ilmu Al-Quran (Syeikh Amin dan Sayid Bakri Satock), serta ilmu pengobatan dan racun binatang kepada Syeikh Hasan. Bahkan ia juga pernah sekamar dengan KH Hasyim Asy’ari ketika belajar kalam (teologi) kepada Kiai Shaleh Darat di Semarang.
Tahun 1889 Darwis menikah dengan Siti Wahidah, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan. Delapan bulan kemudian pasangan muda ini berangkat ke Tanah Suci, dan bermukim di Mekah selama satu tahun. Darwis memang masih ingin memperdalam ilmu agamanya pada sejumlah ulama. Salah satunya Syeikh Ahmad Khatib asal Minangkabau, yang juga guru KH Hasyim Asy’ari.
Sikap kritisnya terhadap lingkungan keagamaan di Yogya tumbuh sepulangnya dari Mekah. Darwis begitu prihatin melihat berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Islam menurutnya harus bebas dari praktek-praktek ritual yang bersumber dari kepercayaan lokal itu, dan karena itu pula “TBC” (singkatan tachajul, bid’ah, dan churafat) merupakan penyakit yang perlu mendapat prioritas untuk diberantas. Sebab penyakit ini bukan hanya merusak kemurnian akidah, tapi juga membuat jumud dalam berpikir, dan skeptis dalam memandang hidup.

Sikap prihatin juga ditunjukkan Muhammad Darwis ketika dia melihat umat Islam salah dalam menentukan arah kiblat. Karena itu, dibekali kemampuannya di bidang ilmu falak dan ilmu hisab, Darwis mempelopori pembetulan posisi kiblat Majid Keraton Yogya yang kala itu masih menghadap lurus ke barat, tidak tepat menuju arah kiblat yang 24 derajat ke arah Barat Laut. Tindakan Darwis mengubah arah kiblat ini membuat heboh di masyarakat. Dan karena ditentang banyak ulama, usaha itu gagal. Lalu ia mendirikan langgarnya sendiri dengan meletakkan kiblat yang tepat. Tapi usaha ini memancing kemarahan penghulu Masjid Keraton, KH Muhammad Halil, yang memerintahkan agar surau yang dibuat Darwis dibongkar. Darwis pun tampak putus asa, dan ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tapi seorang kerabatnya berhasil menghalangi keinginannya itu, dan membangunkannya sebuah langgar yang lain, dan memberi jaminan bahwa Darwis dapat mengajarkan dan mempraktekkan agama sesuai dengan keyakinannya di situ.
Toh ketegangan tidak surut juga. Itulah yang mendorong kepergian Darwis ke Mekah untuk yang kedua kalinya pada tahun 1903. Dalam rentang waktu 14 tahun antara keberangkatannya ke Tanah Suci yang pertama dan yang kedua, Darwis sempat mengawinkan ayahnya, setelah ibunya meninggal, juga menggantikan posisi ayahnya, yang meninggal pada 1896, sebagai khatib amin. Ia juga ikut membantu mengajar di pondok milik ayahnya, dan berjualan batik untuk menghidupi keluarganya.
Keberadaannya di Tanah Suci yang kedua itu dimanfaatkan untuk mendalami pokok-pokok pikiran kaum pembaru. Lewat jasa KH Baqir, keponakannya yang menjadi mukimin di Mekah sejak 1890, Darwis bisa bertemu dengan Rasyid Ridha, yang kebetulan sedang di Mekah. Mereka pun terlibat diskusi mengenai masalah Islam dan umat Islam. Ia juga sempat menimba pemikiran Ibn Taimiah dan muridnya, Ibn Qaiyim Al-Jauziyah, selain Al-Ghazali dan Imam Syafi’i.
Pada waktu itu gerakan Wahabi, yang bertujuan memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam, sedang gencar-gencarnya menancapkan pengaruhnya. Dan rupanya Darwis amat tertarik dengan gerakan itu. Ia melihat, gerakan pembaruan keagamaan di Mekah itu cocok diterapkan di Indonesia karena ajaran Islam di negeri ini, seperti disaksikannya sendiri, sarat dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Sekembalinya di Tanah Air, Darwis mengubah namanya menjadi (Haji) Ahmad Dahlan.
Bersambung ke bagian 2