Kehidupan kita sekarang yang sudah dikepung oleh nilai-nilai kebendaan: martabat seseorang diukur dari apa yang dimilikinya.
Yang mengejar akhirat mendapat akhirat dan dunia
Yang mengejar dunia cuma mendapat dunia.
Itu adalah cuplikan lagu lawas dari Bimbo, yang kalau tidak salah ditulis Penyair Taufiq Ismail. Sebuah peringatan tentang kehidupan kita sekarang yang sudah dikuasai oleh nilai-nilai kebendaan atau materialisme, dimana martabat seseorang diukur dari apa yang dimilikinya. What do you have (apa yang kamu miliki), bukan what are you (siapa kamu), meminjam ungkapan Erich Fromm yang masyhur itu. Anda boleh seorang yang jujur, seorang yang pandai, tapi kalau miskin, sepertinya Anda menjadi percuma. Tidak membanggakan.
Maka, orang pun berlomba mengejar kekayaan, bahkan dengan menempuh berbagai cara. Untuk itu dia bekerja siang-malam, dan kalau perlu hanya dua jam saja untuk tidur. Tidak sia-sia memang. Hanya begitu dia mencapai apa yang ingin diraihnya, ia kembali disergap rasa dahaga untuk terus mengejar dan mengejar.
Agama sesungguhnya menganggap harta bukan sebagai hal yang jahat, meski bukan pula sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Sebab mulia dan hinanya seseorang bukan diukur dari berapa harta yang dimilikinya. Ia hanya anugerah (kenikmatan) dari Allah, dan karena itu merupakan cobaan (fitnah): apakah dengan itu kita mensyukurinya atau justru sebaliknya. Karena itu pula, dari kedudukannya yang netral, harta bisa menghinakan jika pemiliknya sombong. Begitu pula sebaliknya.
Tidak berarti juga agama memandang rezeki sebagai sesuatu yang datang dari langit. Benar bahwa Allah akan menjamin rezeki seluruh makhluk-Nya yang ada di bumi ini. Tapi sudah merupakan sunnatullah pula, rezeki itu hanya bisa diraih melalui usaha dan bekerja.
Guru-guru sufi yang menekankan hidup zuhud, asketis, pun menyatakan, bahwa seorang sufi yang tidak memiliki keterampilan bagaikan burung hantu yang keberadaannya tidak bermanfaat bagi orang lain. Karena itu pula, jangan kaget kalau Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa seorang yang menjauhi dunia demi pamer kedermawanan bahkan mencari pahala di akhirat, tidak bisa disebut seorang zahid. Bahkan meninggalkan dunia demi akhirat pun merupakan kezuhudan yang lemah. Katanya, seorang zahid sejati, sangat mungkin menghindari kekayaan dan hal-hal duniawi lainnya, tetapi justru dia merasa harus memperolehnya, membelanjakannya, dan memberikannya kepada orang yang berhak.
Sesungguhnya Nabi menganjurkan jalan tengah, agar kita tidak terjebak dalam kedua kutub yang ekstrem: tenggelam dalam kehidupan dunia dan berlebihan dalam beribadah. Nabi juga pernah mengingatkan, bahwa dunia ini untuk kita, dan kita diciptakan untuk akhirat. Agama memang tidak mengharamkan kita mencari kekayaan. Sebaliknya agama mencela orang yang mengumpulkan kekayaan demi kekayaan itu, demi rasa megah, rasa unggul. Bila orang memperoleh keuntungan melebihi kebutuhannya, dan kelebihan itu dimanfaatkan sebagian umat, lalu ia kembali menikmati buahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, itulah yang disebut rezeki.
Kalangan Muktazilah, seperti dikutip Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, bahkan menentukan syarat sebuah barang disebut rezeki. Yakni barang itu harus syah kepemilikannya. Karena itu barang-barang yang di-ghasab, dipinjam tanpa izin, atau yang diperoleh secara haram, bukan rezeki kita dan harus dilepaskan.
Sumber: Hamka, Tasauf Moderen (1983); Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (1988)