Orang jahiliah kawin berdasarkan keturunan; orang Yahudi berdasarkan harta; orang Nasrani berdasarkan paras rupa; sedangkan kaum Muslim memilih berdasarkan agama,
Abdullah ibn Al-Mubarak adalah tokoh besar dari generasi tabi’in, generasi yang hidup setelah masa sahabat. Seorang multitalenta yang punya serenceng julukan: ahli hadist, ulama fikih, pakar bahasa dan gramatika bahasa Arab, zahid alias asketis, orang kaya yang dermawan, prajurit perang, penulis puisi, businessman yang sukses, traveller sejati. Ia lahir di Marw (Merv), daerah yang sekarang menjadi bagian dari Afghanistan, pada 181 H/736 M. Dia hidup semasa kekhalifahan Harun Al-Rasyid dari Dinasti Abbasiah. Latar belakang keluarga Abdullah tergolong unik. Ayahnya berasal dari Turki, sedangkan ibunya orang Khurasan. Mubarak yang budak itu bekerja di perkebunan milik tuannya, seorang pengusaha kaya.
Syahdan, seseorang berkunjung ke kebun tempat Mubarak bekerja, menemui tuannya. Tidak berapa lama sang majikan memanggil Mubarak, dan minta supaya dibawakan sebutir delima yang manis. Mubarak bergegas menuju salah satu pohon delima dan memetik buah pesanan tuannya itu.
“Wah, buah ini asam, Mubarak. Sana kauambil lagi satu,” kata si majikan, setelah membelah dan mencicipi delima yang disodorkan hamba sahaya itu.
Mubarak kembali memetik dari pohon yang lain. Tapi lagi-lagi kecut rasanya. Majikan kembali menyuruh, dan ternyata buah ketiga yang dia petik dari pohon yang lain lagi itu rasanya sami mawon. Heran juga si majikan: bertahun-tahun si Mubarak bekerja di kebunnya, tetapi membedakan delima yang manis dengan yang kecut saja tidak becus. Terlalu.
“Mubarak, kamu tidak bisa membedakan mana delima yang manis dan kecut, ya? Aneh. Kamu kan sudah lama mengerjakan, mengelola dan merawat kebun ini,” berkata si majikan.
“Betul, Tuan. Saya tidak bisa mengenali mana buah yang manis dan mana yang masam,” jawab Mubarak.
“Kok bisa begitu, Mubarak?”
“Selama saya mengerjakan kebun Tuan, saya tidak pernah merasakan sebiji pun buah-buahan di sini.”
“Walaupun sebiji, Mubarak?”
“Serius. Jadi, maafkan Tuan kalau saya tidak mampu membedakannya.”
“Mengapa kamu tidak makan?”
“Soalnya, Tuan hanya memberi izin saya untuk mengurus ini kebun. Tuan tidak pernah kasih izin ke saya untuk mencicipi buah-buahan di sini, walau sebutir.”
Kagum juga sang majikan mendengar jawaban hamba sahayanya itu. Dia pun bertambah respek kepada Mubarak atas kejujurannya. Sang majikan kembali bertanya. Bukan perkara buah, kebun atau pekerjaannya. Tetapi menyangkut anak gadisnya, yang sudah beberapa kali dilamar, tetapi belum ada pria yang cocok rupanya.
“Mubarak, menurut kamu siapa laki-laki yang pantas mengawini anak saya?”
“Orang jahiliah kawin berdasarkan keturunan; orang Yahudi berdasarkan harta; orang Nasrani berdasarkan paras rupa; sedangkan kaum Muslim memilih berdasarkan agama,” jawab Mubarak.
Mendengar jawaban itu, sang majikan bertambah kagum kepada Mubarak. Sesampai di rumah dia menceritakan kembali kepada istrinya tentang pengalamannya dengan tukang kebun mereka. Dia pun berbisik kepada istrinya, “Mam, sepertinya tidak ada pria yang cocok buat anak gadis kita. Papa lihat hanya Mubarak.” Ringkas cerita, dari perkawinan antara Mubarak dan anak majikannya itu lahirlah Abdullah si multitalenta tadi Tokoh besar pada zamannya, salah satu mata rantai penting dalam penulisan hadis. Hadis-hadis yang dihimpun dan diseleksi secara ketat oleh Bukhari dan Muslim, banyak yang berasal dari Abdullah ibn Al-Mubarak. Di kalangan Muslim yang mempelajari ulumul hadist, Abdullah Al-Mubarak sangatlah ternama, (Bersambung)