Semua rakyat Indonesia tanpa kecuali adalah pembayar pajak, karena sejak bayi di dalam kandungan sampai masuk ke liang kubur mereka harus membayar pajak.
Maret setiap tahun, adalah bulan sibuk bagi masyarakat untuk mengisi dan melaporkan kewajibannya membayar pajak kepada negara, dengan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan. Pajak tersebut sangat diperlukan negara buat mengelola pemerintahan termasuk menggaji seluruh aparatur negara, baik TNI/Polri dari prajurit sampai jenderal, maupun pegawai negeri sipil bahkan termasuk anggota DPR, Menteri dan Presiden.
Jadi yang membayar gaji para prajurit itu bukan Jenderalnya dan juga bukan Menteri atau Presiden, melainkan rakyat, termasuk kita. Dengan demikian sesungguhnya kitalah majikan dari para aparat negara.
Sayangnya, tatkala rakyat sedang sibuk menuntaskan kewajibannya dalam membiaya penyelenggaraan pemerintahan, Komisi Pemberantasan Korupsi, kembali menangkap basah sejumlah tersangka koruptor, tiga di antaranya selevel pejabat tinggi yaitu anggota DPR/Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy (15 Maret 2019), Direktur Badan Usaha Milik Negara PT.Krakatau Steel Wisnu Kuncoro (22 Maret 2019) dan anggota DPR Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso (28 Maret 2019).
Bagaimana rakyat bisa menjadi majikan aparat negara? Karena kita semua tanpa kecuali, sejak bayi di kandungan sampai masuk liang kubur harus bayar pajak. Ada joke tapi serius tentang dua hal yang tak bisa dihindari orang Indonesia yaitu kematian dan bayar pajak. Memang hampir semua yang kita konsumsi termasuk vitamin dan susu bagi ibu hamil serta kain kafan pembungkus jenazah, tanpa kita sadari dikenai pajak.
Mari kita cermati. Kita mengkonsumsi apa saja hari ini? Air kemasan, mie instan, kopi, teh? Beli baju, bensin dan lain-lain? Untuk semua itu Pemerintah sudah membebani anda Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%, yang dipungut langsung melalui produsennya. Jadi apabila anda belanja sesuatu barang seharga Rp1.500, berarti pajaknya Rp150, tak peduli siapa anda, konglomerat atau buruh, harus dibebani pajak yang sama. Maka kalau ada yang bilang kita tidak atau bukan pembayar pajak, itu bohong, pembodohan dan penghinaan. Oleh sebab itu banggalah kita sebagai pembayar pajak, meski tidak memiliki Nomer Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pajak adalah proses pertukaran antara warga negara dengan Pemerintahnya. Rakyat bayar pajak dan negara menukarnya dengan pelayanan dan perlindungan, dua komoditi utama yang dibutuhkan rakyat. Seperti umumnya proses pertukaran maka mutu dari komoditi yang dipertukarkan penting. Rakyat bayar pajak bila mutu serta pelayanan Pemerintah baik. Bila tidak mereka berhak menolak bayar pajak atau protes.Yang dimaksud pelayanan Pemerintah bukanlah pelayanan Direktorat Jenderal Pajak semata, tapi pelayanan seluruh aparatur Pemerintah/Negara tanpa kecuali, termasuk Presiden.
Karena membayar pajak, rakyat juga bisa disebut majikan dari aparat Pemerintah/Negara. Sebab gaji dan segala fasilitas mereka itu memang berasal dari pajak rakyat, yang dikumpulkan serupiah demi rupiah. Mobil mewah anti peluru Presiden, juga pistol, pelor dan mobil bersirine pak polisi, semua dibeli dari uang rakyat. Maka Presiden, anggota DPR, TNI/Polri dan semua aparat negara, sudah seharusnya amanah melayani serta mengabdi kepada rakyat. Masyarakat Jabodetabek khususnya rakyat Jakarta yang tiap hari bergulat dengan kemacetan adalah patriot di era global. Demikian pula rakyat Sentani, Lombok, Poso dan Ujung Kulon Jawa yang belum lama ini terkena musibah.
Mereka minimal bayar pajak PPN sehingga pada tahun 2019 secara nasional akan terkumpul PPN lebih dari Rp 655,39 trilyun. Sebesar itulah penerimaan negara dari PPN, belum lagi dari yang lain seperti Pajak Penghasilan (Pph) non migas Rp 828,3 trilyun, bea dan cukai Rp 208,8 trilyun, Pajak Bumi dan Bangunan Rp 19,1 trilyun, pajak-pajak lain Rp 8,6trilyun , pajak migas Rp 66,2 trilyun sehingga total penerimaan pajak termasuk bea dan cukai Rp 1.786,4 trilyun, sedangkan seluruh penerimaan negara termasuk hibah Rp 2.165,1 trilyun.
Hormat kita kepada rakyat pembayar pajak, yang menyumbang darah bagi jalannya Pemerintahan. Tanpa pajak Pemerintah runtuh, tak kan mampu membayar gaji aparat, tak mampu menjaga keamanan serta membiaya aneka pelayanan seperti kesehatan, kependudukan, pendidikan serta berbagai pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat lainnya
Karena pajak adalah transaksi antara rakyat dan Pemerintah, maka rakyat berhak menuntut pelayanan dan perlindungan Pemerintah dari segala ancaman termasuk wabah penyakit, jaminan hari tua, penecegahan aneka bencana alam bahkan termasuk pelayanan berlalulintas.
Pemerintah yang amanah akan malu bila berbagai pelayanan kepada rakyatnya buruk. Rakyat yang sudah rela membiaya Pemerintahan dan menggaji para aparat dan pejabat harus digalang pemahaman serta kesadarannya akan hal itu, demi keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik rakyat yang bayar pajak maupun aparat yang mengelolanya.
Perihal kewajiban aparat dan elit negara harus amanah, jujur serta bertanggung jawab banyak digariskan di dalam Alqur’an dan hadis. Surat Al-Baqarah ayat 188 misalkan menegaskan: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Demikian pula Surat An-Anfal ayat 27: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”