*Ustadz Abu Fitri Firdausi
Ada sebuah ayat dalam Al-Quran yang isinya “sangat biasa”. Ini: “Sesungguhnya yang gentar kepada Allah di antara para hamba-Nya hanyalah para ulama”. Siapa, sih, yang bisa menghargai kalimat yang “sangat tidak mengherankan” itu?
Yang bisa menghargai, terutama, mereka yang tadinya tidak tahu bahwa ulama di situ tidak persis ulama yang ada dalam kepala mereka. Kalimat itu hanyalah bagian dari dua ayat yang bicara tentang hal-hal yang bisa berlainan dari yang semula dibayangkan. Lengkapnya: “Tidakkah kaulihat bahwa Allah menurunkan dari langit air hujan, lalu Kami keluarkan dengan itu buah- buahan bermacam warna? Dan di antara gunung-gunung ada garis-garis putih dan merah aneka rona, di samping yang hitam kelam. Adapun dari manusia, hewan melata, dan ternak-ternak, terdapat pula yang berbeda-beda di dalam warna. Sesungguhnya yang gentar kepada Allah di antara para hamba-Nya hanyalah para ulama. Sungguh Allah Mahaperkasa, Mahapengampun” (Q.S. 35:27-28).
Aurora borealis. Mohammed Marmaduke Pickthall menerjemahkan ulama di atas (al-‘ulamaa’) dengan the erudite, ‘orang terpelajar’ (The Meaning of the Glorious Koran, 313). Abdullah Yusuf Ali dengan who have knowledge, ‘orang berilmu’ (The Holy Qur’an, 1109). Yang menarik ialah bahwa setelah menyebutkan air hujan, ayat-ayat itu melukiskan alam secara khusus dari segi warna—tidak hanya warna-warni gunung-gunung, bahkan juga warna-warna manusia, binatang, dan ternak-ternak. “Bicara tentang gunung-gunung,” kata Yusuf Ali, “kita berpikir tentang warnanya yang biru azura dari kejauhan, yang diakibatkan oleh efek-efek atmosferik, dan efek-efek atmosferik ini menuntun pikiran kita ke keagungan awan-awan, ke saat-saat matahari tenggelam, ke berbagai sinar dan cahaya ekliptik, aurora borealis, dan semua jenis perarakan indah yang disediakan alam.” (Yusuf Ali, ibid., 1109).

Di tengah panorama itulah ‘ulama’ berada: orang- orang dengan penghayatan yang intens, dengan suatu kualitas pikiran dan nurani tertentu. Tidak satu kitab tafsir pun menerjemahkan ulama (yang, dalam bentuk kata itu’, hanya satu kali ini disebut dalam Quran) dengan ‘ahli agama’, meski ahli agama tentu saja sangat layak mempunyai penghayatan seperti itu. Pembukaan ayat pertama itu berbunyi, “Tidakkah kaulihat…” Dan dalam gaya Al-Quran, itu berarti tantangan kepada pikiran. Ini, hakikatnya, ayat yang mengasung orang kepada penyadaran akan kebesaran Allah lewat pemikiran alam.
Dari segi yang kedua itu, ia ayat keilmuan. Tetapi masih bergerak pada
tingkat pertama—tingkatan indera. Berita mengenai diturunkannya air hujan, di
awal ayat, segera saja disambut dengan pemaparan warna-warni itu—sebuah
panorama inderawi. Pada tahap berikutnya, rangsangan itu bukan lagi terutama
kepada indera. Yakni dalam ayat:
“Sesungguhnya, di dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal- kapal yang berlayar di lautan dengan barang-barang yang bermanfaat untuk manusia, di dalam hujan yang diturunkan Allah dari angkasa, lalu dihidupkan-Nya bumi dengan itu sesudah kematiannya, dan disebarkan- Nya di situ segala jenis binatang melata, dalam perkisaran berbagai angin, dan awan yang terkendalikan antara langit dan bumi, terdapat tanda-tanda bagi kalangan yang menggunakan akal” (Q.S. 2:164).
Penciptaan langit dan bumi, dalam ayat di atas, bukan sasaran indera. Juga pergiliran malam dan siang. Kapal-kapal di lautan memang bisa dilihat, tapi yang ditekankan di situ bagaimana kapal-kapal itu mengangkut “barang-barang yang bermanfaat bagi manusia”, dengan kata lain arti ekonomis perjalanan kapal-kapal itu. (Kalau bukan begitu, bagian ayat itu tidak akan sebanding—tidak se-wazan—dengan bagian di atasnya maupun di bawahnya). Seperti itu juga hujan dari langit bisa dilihat, juga dialami, tapi bahwa hujan menghidupkan bumi sesudah matinya, dan dengan itu menyediakan makanan bagi segala makhluk hidup yang disebarkan Tuhan di situ, bukan ma salah mata, melainkan’ otak. Tiupan angin juga bisa dirasakan, tetapi perkisaran angin-angin, yang berhubungan dengan musim maupun iklim, serta formasi dan jenis-jenis awan, adalah masalah ilmu alam. Begitulah asungan Al- Quran pada tahap kedua.
Herankah kita bahwa ayat-ayat yang tersebut pertama (dari Surah Al- Fathir) diturunkan sewaktu Nabi masih di Mekah, sementara ayat kedua (dari Al-Baqarah) sesudah beliau di Madinah, seperti yang tertulis di. pembuka masing-masing surah dalam Quran? Dan herankah kita bila kata akhir ayat kedua ini (yang Madinah) menyebut akal, yang mengandung konotasi ilmu, sementara dalam ayat-ayat pertama “baru hanya” pemaparan tentang kebesaran Allah?
Al-Fakhrur Razi (544-604 H.) punya penemuan menarik. Bukan mengenai hubungan antara dua kelompok ayat di atas, melainkan antara ayat yang kita bicarakan ini dan ayat-ayat yang akan segera kita kutipkan. Yakni, “Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang mampu memahami: mereka yang menyebut nama Allah sambil berdiri, duduk, maupun berbaring, dan merenungkan penciptaan seluruh langit dan bumi: “Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia…” (Q.S. 3:190-191).