Mutiara

Seruan Jihad dari Mekah untuk Para Penguasa Jawa

Al-Falimbani mengobarkan jihad di kalangan para penguasa Jawa yang tengah bertikai. Sayang, surat-suratnya tidak pernah sampai karena ditahan Belanda. Tokoh ini menyinggung konflik internal di kalangan penguasa  Jawa, atau mempertanyakan komitmen mereka kepada Islam. Tapi justru mengingatkan akan kebesaran Kesultanan Mataram.

Tuhan telah menyatakan bahwa jiwa orang yang gugur itu (dalam perang sabil, red) akan masuk ke dalam tubuh seekor merpati besar dan langsung masuk surga. Ini merupakan hal yang pasti diyakini semua orang yang beriman dalam hati mereka dan terutama beginilah akan jadinya dengan Yang Mulia, yang dapat ditamsilkan sebagai sekuntum bunga yang menyebarkan wewangiannya sejak matahari terbit hingga tenggelam, sehingga seluruh Mekah dan Madinah serta negeri-negeri Melayu akan melawan semua musuh.

Yakinlah akan nasib baik yang abadi dan berusahalah sekuatmu karena takut akan Tuhanmu. Jangan takut akan nasib buruk dan elakkanlah segala kejahatan. Orang yang melakukan hal itu akan melihat langit tanpa awan dan bumi tanpa noda. Tumbuhkanlah ketenangan hati dari ayat Quran berikut ini: Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga…..” (Q.S 2:25).

Surat itu ditunjukan kepada Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyawa alias Mangkunegara I di Surakarta. Itu menyusul dua surat pertama untuk Sultan Mataram, Pangeran Mangkubumi alias Hamengku Buwono I. Dikirmkan dari Mekah, oleh seseorang yang memakai nama Muhammad, bersama sebuah panji bertuliskan “Ar-Rahman Ar-Rahim, Muhammad Rasulullah ‘Abdullah.” Panji yang dikatakan sebagai jimat itu disertakan karena “kami di Mekah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai pemimpin raja yang sejati, sangat ditakuti di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Anda dan semua orang kafir.”

Seruan jihad kepada para penguasa Jawa itu ditulis pada 1770-an (pada sekitar tahun proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat, 1776, red.), boleh dibilang gagal. Surat itu tidak pernah sampai kepada si alamat, bersama dua surat lainnya disita Belanda dan setelah disalin, aslinya dihancurkan. Waktu itu pemerintah kolonial memang sedang mengkonsolidasikan kekuasaan di kalangan raja-raja Jawa. Antara lain dengan memecah kerajaan ke dalam kekuasaan-kekuasaan kecil seperti yang mereka lakukan terhadap Mataram. Hebatnya, si pengirim surat tidak menyinggung konflik internal kalangan penguasa Jawa itu atau mempertanyakan komitmen mereka kepada Islam. Sebaliknya dia mengingatkan kebesaran Kesultanan Mataram dan mengimbau untuk bangkit kembali dengan jihad.

Muhammad alias Abdurrahman atau yang dalam sumber-sumber Arab disebut Ibn’Abdirrahman, tak lain adalah Syekh Abdush Shamad Al-Falimbani, salah seorang ulama abad ke-18 yang paling berpengaruh di Nusantara. Ia melewatkan hampir seluruh hidupnya di Tanah Suci dan seorang pengikut tarikat Sammaniah. Menurut Azyumardi Azra, lebih dari sekali Al-Falimbani mendorong kawan-kawannya sebangsa melancarkan jihad melawan kaum kolonial. Ia, misalnya, mengarang kitab Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadha’ilil Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah atau lebih dikenal dengan Fadha’ilul Jihad, tentang keutamaan perjuangan bersenjata dan kemuliaan para pejuang.

Kitab itu ditulis untuk khalayak antarbangsa karena itu memakai bahasa Arab. Di antara karyanya yang memakai bahasa Melayu: Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin.  Keduanya adaptasi karya Al-Ghazali Bidayatul Hidayah dan Lubab Ihya’  Ulumiddin versi pendek  Ihya’, memuat prinsip-prinsip yang harus dipatuhi calon penempuh jalan tasawuf. Dibanding ulama Nusantara lain, Al-Falimbani-lah “penerjemah” paling terkemuka Al-Ghazali di kawasan ini tentu saja tidak lepas dari upayanya. Seperti juga Al-Ghazali, dalam tasawufnya Falimbani lebih menekankan ajaran penyucian pikiran dan perilaku moral ketimbang pencarian mistikismu spekulatif. Tapi siapa Al-Falimbani?

Nama lengkapnya Abdush Shamad ibn Abdillah Al-Jawi Al-Falimbani. Ini versi Melayu, sedangkan sumber-sumber Arab menyebutnya Saiyid Abdush Shamad ibn Abdirrahman Al-Jawi. Menurut Tarikh Salasilah Negri Kedah,  ia dilahirkan sekitar 1704 di Palembang. Ayahnya seorang sayid asal San’a, Yaman, yang sering pergi ke Gujarat dan Jawa sebelum menetap di Kedah dan diangkat menjadi kadi Kesultanan. Pada 1700-an ia ke Palembang dan mengawini perempuan setempat. Dari ibu asli Palembang inilah lahir Al-Falimbani yang pada masa orok diboyong  ke Kedah.

Pendidikan awalnya diperolehnya di Kedah dan Patani, Thailand. Lalu sang ayah mengirimkannya ke Arabia, entah pada usia berapa. Yang jelas ia menetap di sana sampai wafat– diperkirakan setelah 1789, tahun ketika ia menyelesaikan karya terakhirnya, Sairus Salikin. Meski tak pernah pulang, Abdush Shamad tetap mengikuti perkembangan di Nusantara lewat keterlibatannya dalam komunitas Jawi. Kawan-kawannya antara lain Syekh Arsyad Al-Banjari (dari Martapura), Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Al-Batawi (Jakarta), dan Dawud Al-Fatani (Patani).  Ini generasi sebelum Muhammad Nawawi Al-Bantani (Banten), dan jauh sebelum Ahmad Khatib Al-Minankabawi (Padang), guru KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Seperti Abdush Shamad mereka adalah  para penentang gigih kaum kolonial – dengan caranya masing-masing. 

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda