Ads
Bintang Zaman M.Natsir

Keluar Dari Kegelapan

Bagian 2 dari 2 tulisan

Salah satu ajaran Muhammad s.a.w yang terpenting adalah menghargai dan melindungi akal manusia dari berbagai penindasan pemikiran. Oleh karena itu, umat Islam harus masuk dan memperkuat perjuangan mencapai kemerdekaan yang berdasar cita-cita Islam.”

Mohammad Natsir mengatakan itu ketika terjadi perdebatan sengit di kalangan kaum muslimin. Yakni, antara kaum modernis dan golongan tradisionalis. Yang pertama, mereka yang pola pikirnya kebarat-baratan mencela kelompok kedua yang menuduh Barat sebagai yang sekuler. Sementara Natsir sendiri adalah generasi yang lahir dari keluarga muslim yang taat dan mengenyam pendidikan sistem Barat dari HIS, MULO, sampai AMS. Latar belakang pendidikan inilah yang ikut menumbuhkan pemikiran Natsir dalam menyikapi dua kelompok umat Islam saat itu. Natsir mengakui bahwa kondisi budaya umat Islam saat itu berada dalam kegelapan.

Dilantik Soekarno.Merenggang kemudian

Natsir memang bukan orang pertama yang menuduh budaya umat Islam tertinggal. Muhammad Abduh, pembaru Mesir awal abad ke-20, secara tegas menuduh umat Islam sebagai biang kemerosotan peradabannya sendiri. Umat Islam telah menggali kuburannya sendiri. Oleh sebab itu, bagi Natsir agenda utama yang harus dilakukan dalam mengembalikan budaya Islam adalah pembebasan pemikiran umat Islam. Natsir meletakkan rasio sebagai jalan keluar dari persoalan budaya yang dihadapi umat Islam. Rasionalisasi tersebut terwujud dalam bentuk dibukanya kembali pintu ijtihad. Tapi beda dengan Bung Karno, lawan polemiknya di akhir tahun 1930-an, kebebasan berpikir yang dimaksudkan Natsir adalah kebebasan yang bersandar pada otoritas. Sebab tanpa itu, kebebasan hanyalah anarki;

Menurut Natsir, peradaban tinggi yang pernah dicapai kaum muslimin merupakan buah kebebasan berpikir dan terbukanya pintu ijtihad. Oleh karena itu, kejayaan kebudayaan tersebut akan bisa diraih kembali apabila pola pikir umat Islam dibiarkan mengalir. Semangat yang dibawa Natsir ini bisa dimaklumi karena Natsir lahir di saat kebudayaan Islam memasuki masa kegelapannya. Oleh sebab itu, gerakan Natsir yang ingin mengembalikan kemajuan kebudayaan Islam masa lalu merupakan impian yang melawan arus kegelapan tersebut. Paling tidak ia berhadapan dengan bayang-bayang kebudayaan kolonial dan realitas umat Islam yang masih terbelakang.

Pemikiran Natsir tentang Islam banyak dituangkan dalam majalah Pembela Islam yang diterbitkan Komite Pembela Islam Media ini cukup ampuh bagi Natsir untuk mensosialisasikan pemikirannya dan menanggapi hujatan-hujatan yang dilontarkan oleh kelompok nasionalis atau orang-orang yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Langkah yang diambil Natsir ini mengingatkan kita pada perjuangan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani yang menerbitkan majalah Al-Urwah Al-Wutsqa di Paris dan majalah Al-Manar, di Mesir, sebagai media sosialisasi pemikirannya. Sosok Natsir sebagai seorang modernis sangat terlihat dari semboyan (moto) majalahnya: “Kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah serta membersihkan khurafat dan bid’ah yang mengotorinya”. Montgomery Watt, seorang orientalis, menilai Natsir sebagai intelektual modernis yang berpikiran maju dan konstruktif. Walau terjadi polemik antara pihaknya dan kelompok nasionalis, Natsir tetap bersikap terbuka dan menerima terhadap berbagai tulisan kelompok nasionalis untuk dimuat di majalahnya. Tidak hanya itu. Natsir juga aktif dalam Syarekat Islam (SI) yang dipimpin HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. Dari sinilah pergesekan antara kaum nasionalis dan Islam mulai terlihat.

Mengeritik Pesantren. Keterlibatan Natsir dalam dunia pendidikan makin memperjelas posisinya sebagai sosok modernis. Dia mengkritik dua sistem pendidikan yang berkembang pada waktu itu: sistem pendidikan Barat yang sekuler dan sistem pendidikan pesantren yang tradisional. Menurut Natsir, pondok pesantren dapat hasilkan orang-orang tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Sedangkan Islam mendorong umatnya mencapai kemajuan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Sementara pendidikan Barat justru sebaliknya. Ia bersifat duniawiah semata dan kering dimensi spiritual. Natsir berpendapat, pendidikan yang diberikan oleh kolonial Belanda semata-mata mengisi otak, sementara jiwanya kosong.

Dari kenyataan inilah Natsir berunding dengan A. Hassan, pendiri dan pemimpin Persis (Persatuan Islam) dari Bandung, dan Fakhruddin Al-Khairi beserta tokoh-tokoh lainnya untuk merintis sistem pendidikan baru. Ketertarikan Natsir pada dunia pendidikan telah memaksanya untuk berkenalan dengan tokoh pemikir terkenal, seperti Frobel, Montessori, dan Rabindranath Tagore lewat karya-karyanya.

Kebudayaan Islam. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan atasnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawabannya” (Q. 17:36). Ayat ini dikutip Natsir sebagai kritik terhadap taklid buta yang berkembang di kalangan umat Islam. Natsir ingin menumbuhkan sikap inovatif dan kreatif di kalangan umat Islam dalam membangun sebuah bangunan budaya.

Kaum muslimin di Tanah Air, menurut Natsir, telah terjebak pada perdebatan tentang kebudayaan Barat dan Timur. Padahal Islam tidak mengajarkan pembedaan, bahkan untuk saling mengenal. Gerak hidup kebudayaan terletak pada kemampuan memberikan makna bagi kehidupan manusia. Di sinilah agama dapat memainkan perannya dalam pembentukan kebudayaan. Natsir memberikan patokan-patokan kebudayaan sebagai berikut.

Pertama, Islam menghormati akal manusia dan mendudukkan akal pada tempat yang terhormat serta menyuruh agar manusia mempergunakan itu untuk menyelidiki keadaan alam. Kedua, Islam mewajibkan pemeluknya menuntut ilmu. Ketiga, Islam melarang bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibu-bapak dan nenek moyang sekalipun. Keempat, Islam menyuruh memeriksa kebenaran walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan. Kelima, agama Islam menggemarkan dan mengerahkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman berjalan ke negeri lain, mempererat silaturahmi dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar rasa dan pandangan. Dari proses ini akan terjadi lajur akulturasi yang sangat penting bagi kemajuan bangsa. Dalam hal ini Natsir mengutip ayat yang artinya: “Wajib atas tiap-tiap muslim yang mampu pergi sekurangnya sekali seumur hidup mengerjakan haji” (Q. 3:97).

Politik dan Demokrasi. Ciri umum pemikiran kaum intelektual muslim adalah meletakkan tauhid (monoteisme) sebagai landasan pemikiran. Tauhid di sini menyangkut asal usul dan tujuan hidup manusia, termasuk di dalamnya peradaban dan ilmu pengetahuan. Demikian juga pemahaman Natsir tentang agama (Islam). Natsir berkeyakinan bahwa kehidupan merupakan sebuah kesatuan yang bersumber dan kembali kepada yang satu. Tidak ada dualisme, semuanya merupakan kenyataan yang saling terkait.

Ketika aktif di SI, Natsir menyusun pokok-pokok pikirannya dalam rangka pembelaannya terhadap kelompok nasionalis, seperti Soekarno, yang sering mengkritik ajaran Islam terutama yang berkaitan dengan fikih. Pertama, Islam bukan semata-mata agama dalam arti ibadah kepada Allah saja. Islam adalah tata cara hidup di atas dunia sebagai individu, masyarakat, maupun negara. Tidak ada pemisahan antara persoalan politik, agama, dan kebudayaan. Kedua, Islam menentang penjajahan manusia atas manusia. Kemerdekaan adalah hak dan kewajiban yang harus dicapai oleh umat Islam. Kemerdekaan tidak saja dalam arti fisik, tetapi juga dalam pemikiran. Ketiga, Islam memberi dasar-dasar tertentu untuk satu negara yang merdeka, dan sekaligus sebagai ideologinya. Keempat, umat Islam wajib mengatur negara yang merdeka itu atas dasar-dasar bernegara yang ditetapkan oleh Islam. Kelima, tujuan ini tidak akan tercapai oleh umat Islam apabila mereka turut berjuang mencapai kemerdekaan dalam partai kebangsaan semata-mata, apalagi yang sudah bersifat membenci Islam. Keenam, Oleh karena itu umat Islam harus masuk dan memperkuat perjuangan mencapai kemerdekaan yang berdasar cita-cita Islam dari semula.

Bersama Agus Salim

Walaupun Natsir memiliki pandangan kesatuan (tauhid) antara agama dan negara, dia tidak bermaksud menjadikan Islam sebagai ideologi yang ditegakkan secara formal dalam bentuk negara Islam yang terformulasikan secara baku. Islam bagi Natsir lebih mengacu pada tingkah laku (etika) manusia sebagai individu yang bermasyarakat dan bernegara yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Negara hanyalah sekadar alat untuk mensosialisasikan nilai- nilai keadilan dan pembebasan umat manusia dari segala kesengsaraan (Yusuf Abdullah Puar, Muhammad Natsir 70 Tahun, Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta, Pustaka Antara 1978). Menurut Natsir, Pancasila merupakan landasan yang sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Quran. Bahkan Pancasila merupakan nilai-nilai yang akan tumbuh subur di atas landasan Al-Quran (M. Natsir, Pancasila Subur di Atas Landasan Islam, Jakarta: Kiblat, 1988).

“Tidak! Ini semua sudah tidak bisa dan tidak perlu diatur dengan wahyu Ilahi yang kekal, dan tak beruban-ubah itu.” Begitulah komentar Natsir menanggapi sejauh mana Al-Quran harus diletakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Al-Quran tidak mengatur persoalan yang kecil-kecil secara terperinci, seperti untuk merancang anggaran belanja negara, cara mengatur sistem keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, dan tentang pengaturan pertukaran nilai mata uang. Meski demikian, semua itu harus diselaraskan dengan patokan-patokan besar yang telah ditetapkan Al- Quran dan As-Sunnah. Harus ada otoritas. “Kebebasan tanpa otoritas, akan melahirkan anarki,” ungkap Natsir.

Walaupun Natsir menjunjung tinggi setiap nilai yang mendorong kemajuan, ia tetap bersikap kritis dalam menetapkan pilihannya, termasuk dalam demokrasi. Natsir mengakui bahwa demokrasi merupakan satu konsep kenegaraan yang sangat bagus untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi ia akan melahirkan sekularisme yang menelantarkan nilai ketuhanan dan akan menghilangkan pertimbangan nilai-nilai agung yang dibawa agama. Itulah sebabnya Natsir mencetuskan konsep teistik-demokrasi, yaitu sebuah upaya sosialisasi nilai-nilai demokrasi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ketuhanan. Pada titik ini Natsir tetap konsisten dengan konsep tauhidnya. Tak berlebihan bila George Kahin menyebut Natsir sebagai sosok yang teguh pada pendirian

A. Bakir Ihsan

(artikel ini telah terbit di Majalah Panji No.11 tahun 2 1 Juli 1998)

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda