Ads
Bintang Zaman M.Natsir

M Natsir dalam Tiga Babak

Bagian 1 dari 2 tulisan

Muhammad Natsir mungkin bisa disebut anak kandung pergulatan pemikiran. Daerah kelahirannya, Alahanpanjang, termasuk daerah Su- matera Barat yang subur dengan aneka pergolakan pemikiran dan gagasan-gagasan pembaruan. Dalam diri Natsir, kelahiran 17 Juli 1908, mengalir pendidikan Barat dan agama.

Anak pegawai pemerintah bernama Idris Sutan Saripado itu memang beruntung bisa mereguk pendidikan formal. Dimulai dari HIS Adabiyah di Padang, lalu ia dipindahkan ke HIS pemerintah Belanda di Solok. Pagi Natsir sekolah di HIS, petang belajar di Madrasah Diniyah, malam harinya ia mengaji Al-Quran. Tapi, tiga tahun kemudian ia dipindahkan kembali ke Padang. Setelah itu, ia melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) yang kemudian diteruskan di AMS di Bandung. Di Paris van Java kembali ia meramu pendidikan Barat dengan pendidikan agama, berguru pada Ustadz A. Hassan, pendiri dan pemimpin Persatuan Islam (Persis). Waktu-waktu luang tak disia-siakannya untuk belajar dan berdiskusi dengan modernis Islam itu. Ternyata ia lebih tertarik untuk mendalami Islam.

Pada A. Hassan, yang sekarang kita kenal melalui Tafsir Al-Furqan-nya, Natsir seakan menemukan saluran bagi apa yang selama ini teramu dalam dirinya: ya pendidikan Barat dan Islam tadi. Atau lebih tepatnya pada pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dua tokoh pembaru Mesir yang diperkenalkan A. Hassan. Dua figur yang sangat dia kagumi, dan karya-karyanya banyak dia baca. Dua tokoh yang dikenal dengan argumentasi bahwa kejayaan Islam akan meningkat di dunia modern, bukan hanya melalui pemurnian atas ajaran Islam dari praktik korupsi dan tahayul, tetapi juga lewat pemahaman terhadap ilmu pengetahuan Barat. Maka berlangsunglah pergolakan pemikiran itu, yang berintikan pada usaha memadukan Islam dengan modernitas. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana memajukan umat Islam, lewat pendidikan, seperti
yang ditempuh dan dipercaya oleh Abduh dan Ridha.

Karena kepeduliannya yang begitu kuat terhadap pendidikan Islam inilah Natsir menolak beasiswa untuk kuliah di RHS (sekolah tinggi hukum) Jakarta atau Fakultas Ekonomi Rotterdam, Belanda. Ia justru memilih sekolah pelatihan bagi guru non-Eropa. Lulus dari sana pada 1932 ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis), sebuah lembaga pendidikan yang menyediakan tiga jurusan: jurusan pertama (tujuh tahun), jurusan kedua (tiga tahun) dan sekolah pelatihan bagi guru (dua tahun). Inilah sekolah yang memasukkan kecenderungan-kecenderungan liberal baru dalam pendidikan. Sayang, meski sempat punya cabang di beberapa kota Jawa Barat, pada 1942, bersama sekolah-sekolah swasta lain yang dianggap pemerintah kolonial Jepang sebagai sekolah liar, Pendis ditutup.

Masih di dunia pendidikan, pada kurun yang sama (1932-1942), ia menjadi direktur Pendidikan Islam di Bandung. Selanjutnya, sampai 1945, menjadi kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung.Di samping aktif di bidang pendidikan, di Bandung ia mulai menulis. Artikelnya yang pertama, dia tulis saat duduk di kelas IV AMS. Pada dekade 1930-an, semakin banyak saja tulisan yang dia dihasilkan. Ia pun sempat berpolemik dengan Bung Karno, terutama mengenai pembaruan ajaran Islam.

Pascakemerdekaan. Sebenarnya sebelum kemerdekaan ia sudah aktif di bidang politik. Itu dia mulai dari Jong Islamieten Bond (JIB), yang didirikan Samsurijal pada awal tahun 1925. Mula-mula, waktu masih duduk di MULO cabang Padang, ia ikut kepanduannya. Keterlibatannya semakin intens ketika duduk di AMS, hingga diangkat diangkat menjadi ketua JIB cabang Bandung (1928-1932). Semangat perjuangan pun tumbuhlah dalam jiwanya. Lebih-lebih setelah ia berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Haji Agus Salim (pemimpin Sarekat Islam, yang juga penasehat JIB) dan Samsurijal.

Tapi, kiprahnya yang sesungguhnya di bidang politik baru dimulai pada 1945. Diawali dengan menjadi anggota badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), sampai diangkat sebagai wakil ketuanya. Berikutnya, Natsir yang cerdas itu merambah cabang eksekutif, dengan menjadi menteri penerangan, pada kabinet Syahrir (dua kali) pada 1946 serta Kabinet Hatta (sekali) pada 1949.

Pada tahun 1950 ia, mewakili Masyumi di parlemen, dipercaya Presiden Sukarno untuk memimpin kabinet. Karena negosiasi dengan PNI, yang menginginkan pos kementerian dalam negeri (strategis mengangkat gubernur, residen) dan kementerian pendidikan (tempat strategis untuk menanamkan pendidikan kepada anak didik), maka akhirnya ia tidak mengikutsertakan sama sekali PNI dalam kabinetnya, meski partai itu merupakan mayoritas kedua di parlemen.

Kabinet Natsir tidak bertahan lama, seperti lain-lainnya waktu itu. Mula-mula oposisi di parlemen menggoyang kabinetnya dengan menyoal pendekatannya dalam soal Irian Barat (sekarang Irian Jaya)—pendekatan perundingan untuk membujuk Belanda agar menarik diri dari sana. Itu dianggap sikap terlalu lunak dan lemah. Serangan ini berhasil ditepis Natsir. Tapi, akhirnya kabinetnya jatuh juga pada 1951.

Sebenarnya di belakang ini ada faktor Sukarno, yang sangat kuat. Hubungannya dengan Presiden sempat merenggang selama penyelesaian masalah Irian Barat. Dalam hal ini mereka sama-sama mengkritik penolakan Belanda untuk merundingkan jalan keluar lewat Konferensi Meja Bundar yang disponsori PBB. Tapi, kalau Natsir menginginkan pendekatan yang lebih terkendali dan konfrontasi tertutup, Soekarno menghendaki penjatuhan sanksi ekonomi terhadap Belanda.

Kerenggangan hubungan kedua orang itu terus berlanjut setelah Natsir lengser. Puncaknya terjadi setelah Peristiwa Cikini pada November 1957. Waktu itu sebuah granat diledakkan untuk membunuh Soekarno di Cikini, Jakarta Pusat, namun tidak berhasil, hanya menewaskan anak-anak sekolah. Kebetulan orang yang melempar granat itu aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia—salah satu organisasi yang dekat dengan Masyumi. Sehingga, meski Natsir tidak punya kaitan sama sekali dengan rencana itu, Sukarno menuduhnya berada di belakang aksi tersebut.

Waktu itu situasi di Indonesia sangat kalut. Berbagai pemberontakan terjadi di mana-mana. Gerakan-gerakan separatisme muncul. Peristiwa Cikini semakin memperburuk keadaan. Ketua Dewan Banteng Achmad Husein mengultimatum pemerintah Juanda agar mengundurkan diri. Diultimatum begini, pemerintah justru mengeras sikapnya, dengan memecat Husein, Simbolon, Zulkifli Lubis dan Dahlan Djambek, para perwira AD itu karena keterlibatan mereka dalam gerakan separatis.

Tak lama kemudian Kolonel Ahmad Husein mempermaklumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri dan Natsir sebagai deputi perdana menteri. Setelah Peristiwa Cikini itu Natsir memang tidak hanya diisolasi, tapi juga terus diganggu, bersama dua koleganya, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Ini gara-gara kepercayaan Sukarno bahwa pimpinan Masyumi bertanggung jawab atas usaha pembunuhan tersebut, padahal tulis George McTurnan Kahin, “Sukarno, berdasarkan data intelijen yang dia terima, berkesimpulan bahwa Dinas Intelijen Amerika (CIA) berdiri di belakang Kolonel Lubis, lebih daripada Masyumi.” Demi keselamatan keluarga mereka, ketiganya lalu hengkang ke Sumatera Barat dan mendapat perlindungan dari Kolonel Husein. Kemudian, menyusul operasi Angkatan Darat yang berhasil melumatkan kelompok itu, Natsir bersama 10 pengikutnya keluar dari hutan pada 25 September 1961, untuk kemudian dipenjara bersama pimpinan PRRI lainnya. Masyumi sendiri akhirnya dibubarkan Bung Karno pada tahun 1961 karena partai ini tidak mau mengutuk para pemimpinnya yang terlibat pemberontakan tersebut.

Memang, dalam sidang-sidang Konstituante yang membahas dasar negara, Natsir bersama anggota-anggota lainnya dari sayap Islam (Masyumi, NU, PSII dan lain- lain) memang memperjuangkan sistem negara berdasar Islam. Meski demikian, ketika usaha-usaha ini gagal, ia bersikap realistis. Ia pun tak setuju dengan cita-cita negara Islam yang diperjuangkan DI/TII—dan ia termasuk yang menumpas—karena baginya cita-cita itu merupakan konsep yang ideal, sesuatu yang masih jauh dari kenyataan.

Natsir memang bukan tipe seorang revolusioner, seorang yang tidak sabaran. Bahkan ia dinilai terlalu lunak. Sikapnya dalam soal Irian Barat, misalnya, dinilai terlalu lemah oleh lawan-lawan politiknya di luar Masyumi. Sementara sikap ketua Masyumi (1952-58) ini terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), oleh faksi radikal dalam tubuh Masyumi sendiri yang kemudian membentuk Front Antikomunis (pimpinan Isa Anshari), juga dinilai terlalu lunak. Dalam hal yang satu ini, Natsir memang memilih pendekatan yang sangat hati-hati, dan tidak konfrontatif. Natsir, memang hampir dalam setiap hal, selalu ingin menjalin jalan tengah, moderat. Natsir yang mendambakan persatuan umat Islam.

Periode Orde Baru. Dengan tampilnya Orde Baru yang menumbangkan rezim Sukarno, Natsir sebenarnya berharap namanya bisa direhabilitasi atas dasar sikap anti- komunismenya. Tapi tidak. Masyumi pun, yang sebenarnya tidak bersalah apa-apa, meski beberapa personilnya atas nama pribadi terlibat dalam kegiatan PRRI, tidak hendak direhabilitasi. Natsir hanya mendapat pembebasan dari penjara, tapi ia, juga pentolan Masyumi lainnya, tetap dilarang berpolitik. Lalu ia tinggalkan gelanggang politik, dan ia dirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Menurut Prawoto Mangkusasmito, mantan ketua Masyumi setelah Natsir, DDII didirikan untuk mengobati rasa frustrasi setelah upaya para pimpinan Masyumi merehabilitasi partai mereka gagal.

Bersama utusan Bosnia (1992) : Concern pada Dunia Islam

Bidang dakwah, bagi Natsir, sebenarnya bukan ladang yang sama sekali baru. Sejak dini ia sudah cukup aktif di bidang itu, dengan corak dakwah yang ditujukan untuk memajukan umat. Buku Fiqhud Dakwah, misalnya, berisi himpunan diktat kuliah yang dia sampaikan dalam kursus-kursus mubalig.

Toh, ada yang melihat kiprahnya di DDII sebagai kemunduran. Sebab, kalau sebelumnya ia dikenal sebagai seorang intelektual modernis atau politikus yang demokrat, maka DDII lebih memperlihatkan wajah Islam yang sedikit garang: dengan isu kristenisasi yang dia tebarkan lalu dijawab dengan pengiriman dai-dai di daerah terpencil dan semacamnya. Natsir sendiri kemudian dikenal lebih dekat dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan mendapat bantuan banyak dana untuk organisasinya itu— jadi pantas kalau bercorak seperti tadi. Natsir sendiri tak cuma “mengobati rasa frustrasinya” di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Pada 1967 itu pula ia menjadi anggota Kongres Muslim Sedunia yang berkedudukan di Karachi sehingga terpilih sebagai wakil ketuanya. Dua tahun kemudian ia ikut Liga Muslim Sedunia (Rabithatul Alam al Islami) yang bermarkas di Mekkah, lalu Dewan Masjid Sedunia pada 1976. Atas perannya ini ia mendapat penghargaan Faisal Foundation dari Saudi.

Hamid Ahmad (telah terbit di Majalah Panji Masyarakat No 11 tahun 2 1 Juli 1998


Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda