Perdebatan tentang perlukah Indonesia menjadi negara agama seakan tak pernah lekang. Keinginan mewujudkan negara Islam terus disuarakan kelompok-kelompok pengusung ide kekhalifahan. Mereka menilai Indonesia perlu diubah menjadi negara agama karena ia tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Polemik ini tidak kunjung terselesaikan bahkan cenderung jadi isu politik setiap lima tahun sekali.
Isu negara Islam dan Pancasila kembali muncul dalam debat ke-4 Capres 2019 akhir pekan lalu. Saat debat, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, mengatakan ia merasa difitnah karena dituduh mendukung kelompok-kelompok pro-khilafah (pemerintahan negara Islam). Untuk kesekian kalinya Prabowo menegaskan ibunya seorang non-Muslim. “Saya lahir dari rahim perempuan Nasrani.”
Prabowo lalu menegaskan sejak usia 18 tahun, ia sudah bergabung TNI. Ia mempertaruhkan nyawa untuk republik, membela Pancasila. “Bagaimana kok saya dituduh akan mengubah Pancasila? Sungguh kejam itu,” kata Prabowo saat debat pada Sabtu malam (30/3). Ia mengatakan: “Pancasila sudah final.”
Tak jauh berbeda, kandidat nomor urut 01, Joko “Jokowi” Widodo, juga mengeluhkan kabar bohong yang menuduh dirinya anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu itu sudah mendera selama 4,5 tahun, kata sang petahana. Ia meminta semua pihak dapat membumikan Pancasila.
Negara Islam bukan isu baru. Serangan bunuh diri dan pengeboman gereja oleh kelompok-kelompok jihadis, seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), mengguncang Tanah Air sejak awal 2000s. Dua organisasi ini berafiliasi ke ISIS, organisasi teroris yang becita-cita membangun kekhalifahan global. Bersama kelompok-kelompok serupa di Asia Tenggara yang lain, MIT dan JAT berupaya menciptakan provinsi ISIS di kawasan.
MIT dan JAT ramai diperbincangkan media paska insiden pengeboman di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Pengeboman Sarinah merupakan serangan teroris pertama yang diakui dilakukan oleh afiliasi ISIS di Indonesia. Namun, pengaruh ISIS tercatat sudah ada sejak 2014, ketika pemimpin MIT Abu Wardah alias Santoso dan petinggi JAT Abu Bakar Ba’asyir ber-bai’at (menyatakan sumpah setia) kepada ISIS. Panglima ISIS di Indonesia, Aman Abdurrahman, yang divonis mati atas kasus bom Thamrin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Juni 2018, membentuk Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pada 2015 untuk melebarkan pengaruh organisasi teroris global tersebut di Tanah Air. JAD terlibat dalam serangkaian aksi teror, termasuk bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada bulan Mei tahun lalu.
Kematian tiga anggota MIT Poso pimpinan Ali Kalora dalam sebuah operasi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada 21 Maret bukti terkini perjuangan menegakkan negara Islam bukan sekedar imajinasi. Ali Kalora merupakan salah satu pengikut Santoso yang tewas dalam baku tembak melawan Satgas Tinombala di pedalaman Poso, Sulawesi Tengah, pada 18 Juli 2016. Dengan fakta itu, tentu sulit kita berharap gagasan negara Islam betul-betul bisa terhapus dari ingatan masyarakat.
Impian kekhalifahan global memudar setelah IS dinyatakan kalah menyusul keberhasilan pasukan Suriah dukungan aliansi pimpinan Amerika Serikat merebut banteng pertahanan terakhir kelompok jihadis tersebut di Baghouz, Suriah, pada 23 Maret. Jatuhnya Baghouz ke tangan pasukan aliansi menandai berakhirnya “kekhalifahan” yang diproklamirkan IS pada 2014.
Namun, terlalu dini tampaknya untuk mengatakan jatuhnya IS menandai berakhirnya perlawanan kaum Islamis radikal. IS bisa saja tumbang, tapi tidak dengan ideologi kekerasan mereka. Meskipun “kekhalifahan” IS sudah mati, ribuan jihadis asing yang bergabung dengan kelompok tersebut tak ubahnya bom waktu, otoritas Kurdi memperingatkan. Anggota-anggota IS yang tertangkap saat penggempuran Baghouz masih menjadi ancaman.
Pejabat Kurdi Abdel Karim Omar mengatakan ribuan pejuang, perempuan dan anak-anak dari 54 negara, belum termasuk warga Irak dan Suriah, menjadi beban serius dan menyodorkan ancaman tidak hanya bagi pasukan koalisi tapi juga komunitas internasional.
Pemerintah Indonesia sendiri belum memutuskan apa tindakan yang akan diambil terhadap mereka yang “berjihad” ke Suriah. Belum ada kejelasan apakah negara akan menghukum atau mengintegrasikan warganegara Indonesia yang pernah ber-bai’at ke IS, termasuk non-kombatan seperti perempuan dan anak-anak. Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam sebuah pernyataan pada 2016 menyebutkan selama dua tahun terakhir sejak 2014, sebanyak 300 hingga 700 warganegara Indonesia telah bergabung ISIS di Suriah dan Irak. Mereka bergabung dengan milisi-milisi dari Malaysia dan membentuk Katibah Nusantara Daulah Islamiyah.