Sampai usia 69 tahun dan sudah puluhan tahun jadi wartawan, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan berbagai tugas serta kegiatan lainnya, di dalam maupun di luar negeri, penulis hanya tahu dua nama orang Indonesia yang melawan Belanda, kemudian dibuang dan dimakamkan di Afrika Selatan.
Satu sudah menjadi bahan pemberitaan dan pengetahuan umum, yaitu Syeh Yusuf dari Makassar atau lebih dikenal sebagai Syeh Yusuf al Makassari al Banteni, yang sudah dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto 7 Agustus 1995. Satu lagi Pangeran Cakraningrat IV yang akrab sebagai dongeng keluarga semenjak masa kanak-kanak, dan sudah beberapa kali menziarahi “makamnya” yang versi Aermata di Bangkalan, Madura. Pemahaman dan rasa ingin tahu mengenai Cakraningrat IV menjadi semakin kuat sesudah membaca tulisan mantan Menteri Kehakiman/mantan Menteri Sekretaris Negara Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra di berbagai media massa tahun 2013, yang menceritakan kunjungannya ke makam Cakraningrat IV di pulau Robben atau Robin, Afrika Selatan, berkat saran Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela yang mengagumi sosok tokoh di makam tersebut. Subhanallah.
Sejak itu, rasa ingin tahu dan hasrat untuk berziarah ke makam Cakraningrat IV di pulau Robben membara. Tetapi baru bisa terwujud pada Oktober 2017 yang lalu. Ternyata ada ribuan rakyat Nusantara yang ditawan dan kemudian dikirim dalam keadaan terbelenggu besi menjadi budak atau tentara dan satuan pengamanan di Afrika Selatan, tepatnya di Tanjung Harapan atau wilayah Cape dengan Cape Town sebagai ibukotanya sekarang. Demikian pula puluhan tokoh pejuang, ulama dan raja atau pangeran yang ditahan karena berkhotbah mengobarkan perlawanan dan bahkan berperang mengangkat senjata melawan Kompeni atau VOC. Sebagai informasi, Cape Town adalah kota terbesar kedua di Afrika Selatan setelah Johannesburg. Cape Town juga menjadi ibukota legislatif bagi Afrika Selatan selain Pretoria sebagai ibukota eksekutif/administratif, dan Bloemfontein sebagai ibukota yudikatif.
Semula Bisnis Berubah Jadi Menjajah.
Sekadar menyegarkan ingatan, VOC adalah singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie atau Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. VOC adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula Geoctroyeerde Westindische Compagnie yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Jelas sewaktu masuk ke Nusantara, VOC bukanlah Pemerintah Belanda melainkan sebuah perusahaan atau kongsi dagang.
Oleh karena itu populer juga dengan sebutan
Kompeni. Kedatangan pedagang-pedagang Eropa ke kepulauan Nusantara adalah
melalui jalur laut yang diawali oleh Vasco da Gama. Pada tahun 1497-1498 Vasco
da Gama berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui Tanjung Harapan Baik
(Cape of Good Hope)
di ujung selatan Afrika, sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan
pedagang Timur Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini
ditempuh melalui jalur darat yang sangat berbahaya. Pada awalnya, tujuan utama
bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke Nusantara adalah
untuk perdagangan, demikian pula dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian
dilanjutkan dengan politik permukiman (kolonisasi) dilakukan oleh Belanda
dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku. Ini berbeda
dengan tujuan Belanda ke Suriname dan Curaçao di Karibia, yang sejak awal
memang murni kolonisasi (permukiman). Latar belakang perdagangan inilah
kolonialisasi dan penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia berawal
(https://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie).
