Pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin tidak bisa direduksi maknanya sebagai sikap toleransi, dalam rangka menjaga agar tidak terjadi gesekan atau konflik dengan kelompok-kelompok masyarakat lain yang memilik keyakinan yang berbeda.
Islam rahmatan lil alamin adalah doktrin atau ajaran, yang memandang bahwa kehadiran Islam di tengah kehidupan masyarakat adalah untuk mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam. Islam hadir untuk memberi jalan terang bagi kemaslahatan umat manusia, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras dan golongan. Ajaran ini secara tegas termaktub dalam Alquran: “Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS: al-Anbiya’, ayat 107).
Islam rahmatan lil ‘alamin itulah yang harus selalu diteguhkan di tengah polarisasi, gesekan serta sentimen berbagai kelompok di masyarakat. Namun demikian, pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin tidak bisa direduksi maknanya sebagai sikap toleransi, dalam rangka menjaga agar tidak terjadi gesekan atau konflik dengan kelompok-kelompok masyarakat lain yang memiliki keyakinan yang berbeda. Sebab missi yang diemban oleh Islam sebagai pembawa rahmat adalah bagaimana menciptakan tata kehidupan yang adil, sejahtera, dan damai, tanpa membedakan latar belakang suku, agama, budaya, dan latar belakang yang bersifat primordial lainnya. Dengan kata lain, Islam rahmatan lil ‘alamin harus juga dilihat bahwa Islam berwatak transformatif dan liberatif. Ini sesuai dengan misi Islam yang kita kenal dengan amar makruf nahi mungkar. Amar makmur adalah bagaimana kita melakukan proses humanisasi dalam berbagai aspek kehidupan, sedangkan nahi mungkar merupakan pengejawantahan dari upaya membebaskan manusia dari situasi kehidupan yang tidak manusiawi (munkarat), menindas, dan tidak adil.
Tantangannya adalah bagaimana misi Islam sebagai pembawa rahmat yang berwatak transformatif dan liberatif itu diimpelementasikan dalam kebijakan-kebijakan politik yang objektif, yang memihak kepentingan orang banyak, atau kepada orang-orang yang hidup miskin dan dan di bawah garis kemiskinan yang memang memerlukan intervensi negara. Bukan kepada sekelompok elite penguasa atau pemilik modal. Dalam tataran yang lebih operasional, ideologi Islam rahmatan lil alamin harus tampak, misalnya, dalam mengimplementasikan apa yang telah dirumuskan Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan (ayat 1); Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang banyak menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2); bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 3), perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Apa pula tindakan-tindakan konkret dalam menghadapi kapitalisme global, yang notabene sangat berlawanan dengan spirit Pasal 33 UUD 1945.
Dengan demikian, Islam rahmatan lil ‘alamin, dengan demikian, tidak berhenti dalam tataran konsep yang abstrak, tetapi juga harus diimpelementasikan secara konkret sehingga apa yang disebut rahmatan lil alamin itu bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.