Pernah dengar perumpamaan atau peribahasa Jawa “Asu gede menang kerahe?”, yang mengibaratkan suatu kehidupan bagaikan pertarungan liar dan bebas dalam dunia anjing, sehingga hanya anjing besar yang akan memenangkan pertarungan.
Perumpamaan ini diunggah oleh pengamat intelijen senior Y. Hascaryo menjadi salah satu judul tulisan dalam buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945, Penerbit Republika, untuk juga menggambarkan sistem Pemilu di Indonesia, yang kini sedang berlangsung.
Sistem demokrasi individual “one man one vote” yang kita anut sekarang, pada hematnya hanya cocok untuk memilih ketua kelas di satu sekolahan, karena pengetahuan semua murid terhadap calon ketua kelasnya merata. Itupun dengan catatan, agar hasilnya obyektif, jujur dan adil, maka para calon ketua tidak boleh bermain politik uang.
Dalam belantara demokrasi seperti itu, seorang calon pemimpin yang baik hampir dipastikan tidak akan terpilih, karena yang akan menang hanyalah seekor bedhes atau kera besar yang jagoan berkelahi. Kedua gambaran ini, baik versi bedhes mapun versi anjing dikenal dengan perumpamaan asu gedhe menang kerahe.
Dalam buku yang sama, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruky juga mengritik tajam sistem demokrasi kita sekarang, yang bertentangan dengan sila keempat Pancasila, yaitu asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaran/Perwakilan.
Demokrasi kita, adalah demokrasi berbiaya tinggi yang membuat uang menjadi sangat berkuasa, yang hanya akan menghasilkan segelintir elit penguasa. Hanya orang kaya, kaum pemodal dan kapitalislah yang lambat laun menguasai partai-partai politik dan bukan rakyat. Selanjutnya mereka akan menguasai bangsa dan negara Indonesia. Mereka itu hanyalah segelintir orang, sekelompok sangat kecil, yang akan menguasai DPR/DPRD/DPD/MPR dan Kepala-Kepala Daerah bahkan Presiden. Sementara itu sepandai, sehebat dan sebaik apapun rakyat biasa yang tidak punya uang untuk berkiprah dalam politik praktis, akan tersingkir dan menjadi budak di negeri sendiri. Naudzubillah.
Pemilu seperti itu jelas tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan Pancasila, yang menjunjung tinggi asas musyawarah mufakat. Musyawarah yang merupakan inti demokrasi dan ditetapkan menjadi sila keempat dalam Pancasila, berasal dari bahasa Arab syawara, yang berarti berunding atau urun rembuk. Dalam kearifan lokal Nusantara yang dikenal sebagai masyarakat paguyuban, gotong royong dan kekeluargaan, pemahaman dan praktek musyawarah telah lama dikenal dengan berbagai istilah lain misalkan rembug desa dan kerapatan nagari, yaitu suatu upaya yang dilakukan secara kekeluargaan untuk mencari jalan keluar dan memecahkan persoalan bersama.
Dalam sejarah peradaban Islam, sistem mencari dan mengangkat pemimpin dilakukan pertama kali setelah Kanjeng Nabi Muhammad Saw wafat. Segera setelah Rasulullah wafat, masyarakat Madinah sangat terkejut dan merasakan kehilangan bukan saja seorang Rasul, tapi juga pemimpin masyarakat.
Kaum Muhajirin dan Ansor berkumpul di Saqifah bani Sa’idah dan berdebat keras tentang calon khalifah yang akan menggantikan tugas Nabi Muhammad memimpin umat. Masing-masing mengajukan alasan kuat tentang siapa yang berhak. Pada masa itu masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Arab yang bersuku-suku didasarkan pada sistem senioritas serta prestasi, dan tidak diwariskan secara turun temurun
Kaum Ansor mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah mengusulkan dari kalangan Quraisy. Usul itu mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Ansor).
Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak. Sebaliknya Umar bin Khattab mengusulkan Abu Bakar. Usul Umar didukung oleh Abu Ubaidah, yang selanjutnya disusul oleh yang lain termasuk oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan tersebut, dengan masing-masing mengemukakan alasan-alasan kuat mengapa memilih Abu Bakar. Demikianlah musyawarah dan mufakat untuk mengangkat seorang pemimpin umat, berlangsung secara baik. Sementara itu Abu Bakar yang didaulat dalam musyawarah mengakomodasi sahabat-sahabat Ansor untuk menjadi Menteri-Menteri dalam kepemimpinannya.
Contoh lain proses musyawarah mufakat yang amat menarik, dilakukan terhadap Umar bin Abdul Aziz. Sebetulnya Umar bin Abdul Aziz sudah memperoleh surat penunjukkan dan pengangkatan sebagai khalifah dari saudara sepupu sekaligus kakak iparnya, Sulaiman bin Abdul Malik yang sedang sakit dan kemudian wafat. Tetapi di tengah khalayak luas, yang menyaksikan pembukaan dan pembacaan surat wasiat, Umar menolak serta membatalkan penunjukkan tersebut dan mempersilahkan masyarakat memilih sendiri pemimpinnya. Pada akhirnya rakyat kembali memilih Umar bin Abdul Aziz, yang selanjutnya meski hanya menjadi khalifah selama sekitar dua setengah tahun, namun masa kepemimpinannya dikenal sangat gemilang.
Subhanallah walhamdulillah, yuukkk rehat bersama wedang uwuh ala kompleks Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri