Hamka

Buya Hamka dan Cerita Gaib

Malaikat akan turun membantu dan mengawal orang-orang yang beriman dan istiqamah.

Tahun 1968 Buya Hamka mengantarkan dua putranya, Helmy dan Afif,  untuk belajar di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Ikut bersama mereka seorang sopir dan  putra Buya lainnya yaitu Fachry Amrullah, sebagai sopir cadangan. Fachry dan Helmy kini sudah almarhum.

Seperti diceritakan Afif Hamka, putra Buya nomor 9 dari 10 anaknya, dalam seminar dan peluncuran buku Ensiklopedi Buya Hamka (27 Maret) di Jakarta, Fachry berada di belakang kemudi dalam perjalanan pulang dari Gontor ke Jakarta. Yakni antara Cirebon dan Cikampek. Hari sudah larut. Sopir yang menemani Fachry di jok depan tidur kelelahan. Begitu pula Buya Hamka yang duduk di jok belakang mobil mereka. Tapi betapa kagetnya Fachry, saat melihat kaca spion di dalam mobil. Ternyata Buya ditemani seorang laki-laki bertubuh besar dan berjubah putih. Kata Fachry, seperti diceritakan kembali kepada sang adik, dia tidak tahu kapan dan di mana laki-laki misterius itu naik mobil mereka. Meskipun takut, Fachry yang pernah main di sejumlah film layar lebar itu tidak berani membangunkan si sopir. Apalagi ayahnya. Ketika sampai Cikampek ia baru menyadari ternyata laki-laki yang menemani ayahnya itu sudah tidak ada. Entah di mana pula dia turun.

Afif pernah mengecek cerita abangnya itu kepada sang ayah. Tapi Buya, kata Afif, hanya tertawa dan mengatakan bahwa cerita Fachry itu berlebihan. Ini bukan yang pertama yang didengar Afif perihal cerita gaib di seputar penulis buku best seller Tasawuf Moderen itu. 

Syahdan, menjadi kebiasaan Buya Hamka mengajak istri dan anak-anaknya shalat subuh berjamaah di Masjid Agung Al-Azhar, yang tidak jauh dari kediaman mereka. Waktu itu istri Buya Hamka adalah Ibu Khadijah dari Cirebon. Kata Afif, Ibu Khadijah biasa manggil Cep kepada semua anak laki-laki Buya, dan Neng kepada putri-putrinya.

“Cep, tahu gak tadi malam Ibu sangat ketakutan?” kata Afif, menirukan cerita ibunya dalam perjalanan ke Masjid.
“Apa yang membuat Ibu takut? Ada apa memang tadi malam? Bukannya Ibu sama Ayah?” Afif balik bertanya.
Ibu Khadijah bercerita, sebagaimana biasanya, Buya selalu sembahyang tahajud di kamarnya yang, kata Afif, cukup luas itu. Ibu Khadijah pun mengikutinya, sedikit agak di sudut dari tempat Buya shalat. Nah, malam itu dia mendengar suara orang lamat-lamat  membaca At-Tahiyyat. Dia hapal betul, itu bukan suara suaminya. Tak kuasa menahan takut, Ibu Khadijah pun lari membatalkan shalatnya. Usai shalat, Buya bertanya mengapa dia ketakutan begitu. Setelah mendengar cerita sang istri, Buya berkata: “Rupanya di kamar ini kita tidak hanya berdua. Tapi ada yang menemani.”

Buya Hamka dengan Istri Kedua -teman hidup di saat senja- Siti Khadijah di Cirebon 1978 sepeninggal istri pertama Siti Raham


Pertanyaan Afif kemudian kepada ayahnya, siapakah makhluk gaib yang menemani manusia itu? Jawaban Buya Hamka terdapat di buku tafsirnya Al-Azhar, yang dikutip kembali dalam Ensiklopedi Buya Hamka. Berikut kutipannya:
Bagi orang yang percaya akan adanya Tuhan sebagai pelindungnya, maka dijanjikan bahwa Malaikat akan turun kepadanya. “Dan sesungguhnya orang-orang yang telah berkata, Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka tetap pada pendirian itu, niscaya akan turunlah kepada mereja Malaikat, supaya mereka jangan merasa takut dan merasa dukacita.. (QS Fushshilat: 30).

Kata Buya Hamka, “Bagaimana kuat dan teguhnya pribadi seorang yang hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan. Satu kali dia akan berhadapan dengan bahaya yang menakutkan. Kali yang lain dia akan berjumpa dengan penderitaan yang menyedihkan. Tetapi sikap yang teguh, yang istiqamah menyebabkan perjalanan hidupnya yang menempuh segala kesulitan itu senantiasa didampingi Malaikat. Malaikat akan turun sengaja buat menambah teguh jiwanya. Maka timbullah keberaniannya menghadapi hidup. Ayat tersebut membukakan kemungkinan bagi semua manusia, sehingga nyatalah bahwa Malaikat bukan sengaja turun kepada nabi-nabi saja. Kepada setiap orang dia dapat datang. Segala orang dapat dibantunya. Segala orang dapat dikawalnya. Dan kepada setiap orang terbukalah pintu berbuat baik.

Pejuang-pejuang menegakkan keadilan. Ulama-ulama besar zaman dahulu, yang berani mengangkat muka dan menegur berterus terang, berhadap-hadapan dengan raja yang zalim, tidak merasa takut akan mati, tidak merasa takut akan dipenggal lehernya adalah lantaran Malaikat menjadi pengawalnya. Hal yang demikian bukanlah terjadi di zaman dahulu saja. Di zaman mana juapun, manusia yang teguh iman dan kepercayaan, yang tidak ada tempatnya berlindung melainkan Allah, maka dia dikawal malaikat.”

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda