Aktualita

Hoax, Bahaya dan Dosanya

Dalam lima tahun terakhir,  jagat informasi Indonesia dihamburi racun informasi yang semakin terasa sedang membelah bangsa. Racun informasi itu berupa  berita bohong atau hoax yang sesungguhnya adalah informasi tidak benar, yang dirangkai dengan sengaja untuk menyesatkan, menjadi menjadi suatu  informasi  dan fakta yang seolah-olah benar.

Menyebarkan hoaks (hoax) dalam ajaran Islam berpotensi mengandung tiga hal terlarang. Pertama  berbohong, kedua bergunjing atau gibah dan  ketiga fitnah.

Menggunjing keburukan orang lain disebut gibah, dan dosa gibah lebih berat dibanding zinah. Sedangkan menyebarkan berita yang tidak benar disamping disebut berbohong, juga fitnah apabila itu menyangkut perbuatan yang dituduhkan terhadap seseorang.

Sudah menjadi pengetahuan umum, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Karena itu baik gibah maupun fitnah sangat dilarang, kecuali  demi menegakkan keadilan dan melawan kezaliman, terutama melawan ketidakadilan dan kezaliman penguasa. Salah satu contoh dari kezaliman yang luas dan besar dampaknya tapi tidak mudah dikenali masyarakat adalah menyalahgunakan kewenangan atau menggunakan uang pajak dari rakyat secara tidak amanah, apalagi dikorupsi

Kebohongan membawa dampak buruk dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin penting, semakin tinggi kedudukan dan jabatan seseorang yang menyebarkan kebohongan, semakin besar pula dampak dan akibatnya. Oleh sebab itu pula Sayidina Ali bin Abu Thalib berpesan, “Jangan berteman dengan pembohong, karena dia tidak mungkin mendatangkan manfaat kepada anda.”

Perihal berbohong dan munafik, Islam melalui Alquran, hadits dan sejumlah riwayat para sahabat banyak mengisahkan dan membahasnya, termasuk pengecualian atau berbohong yang diijinkan, yakni demi menyelamatkan nyawa manusia dari kejahatan dan menjaga rahasia dalam peperangan. https://panjimasyarakat.com/2019/03/08/berbohong/

Tentang gibah, banyak orang melakukan terhadap sesamanya, namun takut melawan kezaliman Penguasa, bahkan lebih suka menjilat serta mendukung kezaliman. Padahal kekuasaan harus dikontrol lantaran cenderung korup,  bahkan menurut Lukman Si Ahli Hikmah, diselubungi oleh kezoliman dari segala penjuru ( https://panjimasyarakat.com/2019/03/24/mengambil-hikmah-dari-luqman-si-ahli-hikmah/)

Penyebaran informasi baik yang bersifat gibah apalagi hoax di era informasi teknologi sekarang ini sungguh dahsyat. Dalam tempo beberapa menit, sebuah hoax bisa menyebar bagai virus ganas  menghinggapi jutaan orang di berbagai penjuru dunia. Celakanya, meskipun sang pencipta gosip sudah bertobat, boleh jadi gosip ciptaannya terus menyebar dari satu orang ke orang lain, dari waktu ke waktu. Karena itu sangat tepat peribahasa nenek moyang Nusantara yang menyatakan sepanjang apapun sebuah jalan, masih kalah panjang dibanding tenggorokan.

Sementara itu Gusti Allah juga memperingatkan sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Hujuraat ayat 12: “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan jangan kamu mencari keburukan orang dan jangan sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka kamu pasti benci memakannya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Mempertegas dawuh Gusti Allah tadi, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Tahukah kamu apa itu bergunjing?”. Para sahabat yang ditanya menjawab: “Allah dan Rasulnya tentu lebih tahu.”Beliau melanjutkan: “Yaitu pembicaraan terhadap saudaramu tentang sesuatu yang tidak dia sukai.” Salah seorang sahabat bertanya : “Bagaimana pendapat anda jika yang aku katakan itu memang benar terjadi pada saudaraku?”

Rasulullah menjawab: “Kalau yang kamu ketahui itu  benar, itulah namanya mempergunjing. Tetapi kalau apa yang kamu katakan itu tidak benar, maka berarti kamu telah memfitnahnya” (Hadis  Muslim).

Tersebut suatu peristiwa pada zaman Baginda Rasullah Saw., ada seorang prajurit Islam gugur di medan perang sebagai syuhada. Lalu salah seorang yang berkata, betapa senang orang ini, karena berhasil mendapatkan surga. Mendengar ucapan tersebut Rasulullah menyatakan belum tentu, karena mungkin orang ini biasa berkata dengan ucapan-ucapan yang tidak berguna atau kikir dan tidak mau memberikan sesuatu yang sebenarnya tidak berharga bagi dirinya.

Atas dasar itu Al Ghazali menasehati agar kita menjaga mulut kita dari delapan perkara yaitu:

1.Berbohong

2. Ingkar janji

3. Membahas kejelekan orang lain atau gibah

4. Bertengkar dan berdebat

5. Menganggap baik diri sendiri

6. Melaknat baik terhadap makhluk hidup ataupun benda mati, memvonis syirik, kafir atau nifaq kepada sesama orang Islam.

7. Mendoakan jelek terhadap makhluk

8. Bergurau dan mengejek orang sehingga menyebabkan orang malu, turun wibawa atau sakit hati.

Dari delapan perkara tersebut Al-Ghazali paling banyak membahas gibah. Secara hakikat gibah tidak hanya berbentuk obrolan lisan, tapi bisa juga berbentuk tulisan atau bahkan isyarat. Dosa membahas kejelekan orang lain, katanya lebih besar daripada berbuat zina sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Baihaqi dan At-Thabrani dari Jabir dan Abu Sa’id: “Berhati-hatilah engkau terhadap perbuatan gibah. Karena sesungguhnya gibah itu lebih dahsyat dari zina.” Salah seorang sahabat bertanya: “Bagaimana bisa begitu?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya seseorang muslim yang berzina, dia lalu bertobat dan tobatnya diterima oleh Allah. Tetapi orang yang ngrasani itu tidak dapat diampuni oleh Allah, sebelum yang dirasani itu mengampuni.”  

Naudzubillah.

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda