“Dari kecil saya sudah berteman dengan mereka. Dulu mereka hanya anak-anak nakal. Sudah besar menjadi laki-laki yang jahat.” (Ali ibn Abi Thalib tentang Mu’awiyah dkk.)
Bukan kemauan Abu Musa al-Asy’ari menjadi juru runding. Apalagi kemauan Ali ibn Abi Thalib. Orang banyaklah yang menghendaki. Tapi malang bagi Abu Musa: dialah yang paling banyak menerima tudingan di balik kekalahan Sayidina Ali ibn Abi Thalib karramallahu wajhah menghadapi Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
“Kalian sudah menolak perintahku yang pertama. Sekarang, jangan membantah lagi,” kata Ali kepada para pengikutnya. “Saya tidak suka Abu Musa menjadi wakil kita.”
Tapi orang-orang makin mendesakkan tokoh gaek yang mantan gubernur Irak itu. Sebelumnya, sang Khalifah sudah menolak tawaran gencatan senjata dari Mu’awiyah. Usul jeda tersebut, menurut Ali, hanya muslihat. Lagi pula kemenangan sudah di depan mata. Dalam pidatonya yang berapi-api, Ali menandaskan, “Teruskan menuntut hak kalian. Teruskan memerangi musuhmu. Mereka bukan ahli agama, bukan ahli Quran. Saya lebih tahu mereka. Dari kecil saya sudah berteman dengan mereka. Dulu mereka hanya anak-anak nakal. Sudah besar menjadi laki-laki yang jahat.”
Sayang, hanya sedikit yang menghiraukan ucapan Khalifah. Sebagian malah mengatakan, “Kamu tidak sampai hati meneruskan peperangan ini, karena sudah ada seruan kepada Kitab Allah,” yakni seruan pro-kontra di kalangan pengikut. Kacau. Dan Ali pun, sang pemimpin, mengikuti kemauan orang banyak. Dari sinilah sebenarnya kekalahan Ali dimulai. Abu Musa, yang kemudian di-skak mat di arena perundingan oleh Amr ibn Al-Ash, hanya pelengkap.
Sebermula, Ali berkirim surat ke Mu’awiyah ihwal terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan dan “kesempatan orang mengangkat saya.” Ali minta gubernur Syam itu ikut membaiatnya. Atau, kalian menolak, nyatakan perang terus terang. Tetapi kepada Hajjaj ibn Ghaziah al-Anshari, yang membawa itu surat, Mu’awiyah hanya berpesan. “Kamu pulang saja. Balasannya akan dibawa utusan saya sendiri.”
Tapi alangkah kaget orang-orang yang hadir di majelis Ali, begitu mengetahui surat “Dari Mu’awiyah ibn Abi Sufyan Kepada Ali ibn Thalib” itu cuma berisi “Bismillahirrahmar rahim.” Ketika ditanya situasi Syam, kurir Mu’awiyah tadi mengatakan bahwa di sana 50.000 orang tua-tua membasuh janggut mereka dengan air mata, meratapi kemeja Utsman yang berdarah, yang dibawa orang dari Madinah. Baju itu dikaitkan di ujung tombak, dan mereka, katanya, “siap bertempur membela kematian Utsman.”
Ada hadirin yang meradang mendengar cerita itu. “Apa kamu dikirim untuk menakut-nakuti kaum Muhajirin dan Anshar? Demi Allah, kemeja Utsman bukan kemeja Yusuf (Nabi Yusuf, yang di waktu kanak-kanak diadukan oleh abang-abangnya kepada ayah mereka sebagai sudah dimakan serigala). Kemeja Utsman bukan untuk diratapi. Yang meratapi Utsman di Syam itu orang-orang yang dulu mengecewakan Utsman di Irak.”
Madinah geger. Orang menunggu.
Ketika Ali dan pasukannya akhirnya siap berangkat ke Syam, terdengar kabar bahwa Aisyah, Thalhah, dan Zubair juga sedang menyusun kekuatan, di Bashrah, juga untuk membela Utsman.” Ali berbelok — -dan berhasil melumpuhkan mereka dalam peristiwa yang disebut perang Unta.
Sekali lagi, Ali mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajali ke Syam, membujuk Mu’awiyah. Tapi sesampai di tujuan, duta itu dirintangi dengan macam-macam pekerjaan, sampai akhirnya Mu’awiyah mendapat advis dari Amr ibn Ash bahwa baiat belum bisa dilaksanakan sebelum kasus Utsman diselesaikan. Di belakang hari Thabari meriwayatkan, orang-orang Syam berjanji tidak akan campur dengan istri mereka, tidak akan mandi, dan tidak akan tidur di kasur, “sebelum para pembunuh Utsman dibunuh.”
Alhasil ketika si utusan melaporkan keadaan Syam kepada Ali, Khalifah itu menyatakan perang kepada Mu’awiyah. Dia menantang putra Abu Sufyan itu untuk berhadapan satu lawan satu, dan siapa yang menang berhak atas kekhalifahan. Menyadari kehebatan permainan pedang Ali, Mu’awiyah menolak.
Dan perang berkobar. Ali boleh memenangi pertempuran demi pertempuran, tapi Mu’awiyah-lah yang akhirnya menang perang. Bagaimana?
Sampai sekarang banyak yang menyalahkan Abu Musa. Orang tua itu memang kalah dalam berdiplomasi dengan Amr ibn Al-Ash. Dan kekuatan Ali memang lalu bercerai-berai setelah jeda di Daumatul Jandal itu. Tapi bukankah disintegrasi sebenarnya sudah tumbuh sebelum itu, terbukti dari berbedanya pilihan para pengikut dari yang diinginkan Ali sendiri? Memang, ini hanya masalah kepemimpinan yang biasa. Begitulah Allah menentukannya.
Sumber: Taha Husein, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam