Dampak Pemilihan Umum (Pemilu), khususnya Pemilihan Presiden secara langsung satu orang satu suara dalam kehidupan bermasyarakat sungguh luar biasa. Sudah lima tahun terakhir ini masyarakat seperti terbelah, makin lama belahannya makin melebar.
Banyak contoh hubungan keluarga, persahabatan dan bertetangga yang retak sebagai akibat dari Pemilu tersebut. Ada kelompok-kelompok yang seperti bertekad kalau tidak sekarang kapan lagi? Now or never. Ada pula yang seperti balas dendam. Saling menghinakan sesama ciptaan Tuhan. Saling berusaha menumpas habis satu sama lain.
Padahal banyak di antara mereka yang tidak mengenal sama sekali orang yang dijagokannya. Boro-baro nasibnya bakal diperbaiki oleh sang jago apabila menang Pemilu. Jika ditimpa kemalangan, sudah bisa dipastikan yang akan paling cepat peduli pasti saudara, tetangga dan sahabatnya, bukan jagoannya.
Pemilu dalam khazanah ajaran spiritual Jawa, tergolong dalam berlomba-lomba mengejar satu dari 3 (tiga) Ta, yaitu tahta atau kekuasaan. Sedangkan dua Ta yang lain yakni Harta dan Wanita.
Tiga Ta tersebut dalam ajaran tasawuf Al Ghazali disebut sebagai pesona dunia, yang merupakan Tanjakan Ketiga atau Tanjakan Penghalang dari Ketujuh Tanjakan untuk mencapai tingkat makrifat, atau mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal.
Dalam beberapa kali Pemilu kita menyaksikan aneka macam reaksi para peserta dan keluarganya. Dari yang terpilih, ada yang langsung sujud syukur, ada yang spontan mengucapkan alhamdulillah, ada yang segera memotong tumpeng syukuran yang sudah disiapkan sebelumnya.
Dari yang tergusur, ada yang menyatakan merasa dizalimi, ada yang sakit hati dan lain-lain. Demikianlah, jabatan dan kekuasaan memang bisa mengaduk emosi banyak orang. Bisa mengorbankan persaudaran dan persahabatan, bahkan kata Antigone dalam mitologi Yunani, bisa menggorok tenggorokan orang tua sendiri.
Sesungguhnyalah, kekuasaan itu penting tapi kekuasaan hanyalah sarana dan bukan tujuan hidup. Karena itu sarana tidak boleh mengorbankan tujuan hidup yang diatur oleh norma-norma kebaikan dan agama.
Lantas sebaiknya kita bagaimana menyikapi kekuasaan? Masih ingatkah kita dengan kisah Luqman, Sang Ahli Hikmah, yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu surat dalam Al-Qur’an? Kitab hadis Musnad al-Firdaus mengisahkan, suatu ketika Luqman terlena tidur di siang hari, tiba-tiba ia mendengar suara memanggilnya seraya berkata : “Hai Luqman, maukah engkau dijadikan Allah khalifah yang memerintah di bumi dengan haq?”
Luqman menjawab, “Kalau Tuhanku memberikan pilihan, maka aku akan memilih perlindungan dan tidak memilih ujian. Tetapi bila itu ketetapan-Nya, maka akan kuperkenankan dan kupatuhi, karena aku tahu bahwa bila itu ditetapkan Allah bagiku, pastilah Dia membantu dan melindungiku.”
Para malaikat yang tidak terlihat oleh Luqman bertanya, “Mengapa demikian?” Luqman menjawab, “Karena penguasa adalah kedudukan yang paling sulit dan paling keruh. Kezaliman menyelubunginya dari segala penjuru. Bila sang penguasa berlaku adil maka wajar dia selamat, dan bila keliru, keliru pula ia menelusuri jalan ke surga. Seseorang yang hidup hina di dunia, lebih aman daripada ia hidup mulia dalam pandangan manusia. Dan siapa memilih dunia dengan mengabaikan akhirat, maka dia pasti dirayu oleh dunia dan dijerumuskan olehnya, dan ketika itu ia tidak akan memperoleh sesuatu di akhirat.” Para malaikat sangat kagum dengan ucapannya. Dan ketika ia terbangun, jiwanya telah dipenuhi hikmah, dan sejak itu seluruh ucapannya adalah hikmah.
Dalam menyikapi masalah kekuasaan tersebut, penulis teringat nasihat dua orang ustadz. Pertama, ustadz Abah Thoyib dari Mojokerto yang mengajarkan agar kita jangan pernah loba, jangan pernah mengejar kekuasaan. Karena kekuasaan seperti itu akan bisa diperoleh dengan sejumlah beban ikutan yang membuat kita menderita tak kuat memikulnya.
Kedua, ustadz Kyai Hasani dari Sidogiri, Pasuruan, yang mengajarkan untuk jangan memilih, jangan mengikuti pemimpin yang loba, yang tamak, yang mengejar kekuasaan. Karena pemimpin yang seperti itu akan memiliki banyak beban dan tidak amanah. Naudzubillah.
Begitulah wahai Sahabatku, hakikat dari sesuatu jabatan dan kekuasaan, yang sesungguhnya merupakan amanah yang berat tanggung jawabnya. Oleh sebab itu jika jabatan tersebut mendatangi kita tanpa kita kejar dan tamak kepadanya, maka seyogyanya kita sambut dengan serangkaian zikir dalam arti luas dan sungguh-sungguh dari lubuk hati yang paling dalam, seraya senantiasa memohon ampunan, pertolongan, perlindungan, hidayah, ridho, berkah dan rahmat-Nya. Sebaliknya kita hindari loba, tamak dan mengejar kekuasaan.
Subhanallah walhamdulillah, yuk rehat dulu sembari menghirup kopi talua ala Minang