Heroisme dan sepotong kecemasan tentang hidup serba berkelimpahan. Tentang panglima perang Sa’d ibn Abi Waqqash, sang penakluk Persia yang pensiun di sebuah dusun
“Iblis iblis! Lihat itu, iblis-iblis telah datang!”
Tentara Persia lari tunggang-langgang. Juga Yezdajrid, sang raja muda. Mereka baru saja menyaksikan sebuah pemandangan musykil: kepala-kepala orang, dan kepala-kepala kuda, tiba-tiba muncul dari arah sungai yang sedan banjir. Sungguh mustahil.
Setelah memenangkan pertempuran Qadisiah dan menerima penyerahan beberapa kota terdekat, Sa’d ibn Abi Waqqash dan pasukannya merangsek ke Babilonia. Di wilayah ini beberapa jenderal Persia ternama, seperti Firuzan, Hurmuzan, dan Mihran mencoba menghimpun kembali pasukan yang sudah tecerai-berai. Pasukan Sa’d hanya memerlukan satu serangan utuk menguasai Chaldea, wilayah Nabi Ibrahim dulu. Firuzan kabur ke Nahawand, hurmuzan ngacir ke Ahwaz, Iran Barat sekarang, dan Mihran meloloskan diri ke Madain. Di ibu kota Kaisar Muda Yezdajrid itu, yang dulu kota Nabi Salih, sekali lagi Mihran menyusun kekuatan.
Madain terletak di tepi Sungai Tigris, yang membelah daerah yang dikuasai oleh pasukan Muslim dan pasukan Persia. Tatkala tentara Sa’d mencapai bibir sungai jembatan sudah dibumihanguskan. Tapi Jendral Sa’d satu di antara 10 sahabat Nabi yang diberi janji surga, memimpin penceburan diri ke sungai yang sedang meluap. Mereka sampai ke seberang — meski tak dituturkan berapa yang hanyut. Kejadian di luar perkiraan inilah yang membuat kalang kabut tentara Mihran. Mereka menyingkir, meninggalkan istana-istana yang mewah dan jarahan tak ternilai.
Sa’d, gubernur Irak semasa Khalifah Umar ibn Khattab dan Utsman ibn Affan r.a., menjadikan Madain markas besarnya. Masih ada “sedikit tugas”: ketika Persia kembali mengerahkan pasukan raksasa, hasilnya di luar dugaan: lebih 100.000 dari mereka, kata sejarawan Thabari, terbunuh, dan para prajurit membawa pulang harta rampasan yang luar biasa, sebagaimana kebiasaan waktu itu. Demikian banyaknya, sampai-sampai Khalifah Umar sedih: di balik kekayaan yang melimpah itu, ia justru melihat tanda-tanda awal proses kehancuran akibat kebiasaan hidup senang dan ketamakan.
Tapi pertempuran yang menentukan kejatuhan Persia sebenarnya adalah pertempuran di Qadisiah itu. Di sini Panglima Sa’d tidak bisa terjun langsung, lantaran sakit. Ia hanya bisa memberikan komando, dari sebuah rumah di pinggir medan. Di sini pula pertama kalinya pasukan muslim bertemu barisan gajah, yang menakutkan dan membuat liar kuda-kuda Arab. Tapi melihat pasukannya mulai terdesak, Sa’d memerintahkan mereka untuk menggunakan tombak, guna menghadapi “raksasa-raksasa “ itu.
Salah satu yang melemparkan tombak adalah perajurit bernama Ka’akah. Selain merobohkan dua jagoan Persia dalam perang tanding, di hari terakhir ia hujamkan tombak itu ke seekor gajah putih yang memimpin di depan. Tepat kena matanya, sementara pedangnya melukai belalai hingga memuncratkan darah. Gajah itu meraung, diikuti gajah-gajah lain yang panik.
Tapi Abu Mahjan malah berada di garis belakang. Prajurit ini adalah seorang penyair. Ia dirantai karena kedapatan teler menenggak anggur. Ia lalu mendatangi istri Panglima, mohon agar diizinkan maju, dengan janji, kalau selamat, akan kembali ke status tahanan. Nyonya Sa’d setuju, bahkan memberinya kuda.
Sementara itu di medan, pasukan Sa’d menangkap kepanikan musuh dan segera memukul balik. Dan bala tentara Persia kocar-kacir: panglima besar mereka, Rustum, lari dan nyaris tewas ketika menyebrangi kanal. Akan halnya si penyair teler, syukur ia selamat. Jadi ia menyerahkan diri kembali untuk ditahan. Tapi Panglima malah mengampuninya, dan sebagai imbalan, si penyair berjanji tidak akan nenggak lagi.
Ibn Katsir (Al-Bidayah) mencatat, Panglima Sa’d sebelumnya pernah mengutus beberapa sahabat terkemuka kepada Rustum, mengajaknya masuk Islam. Seorang di antaranya Mughirah ibn Syu’bah, yang bicara sangat panjang dan indah. Rustum, yang mula-mula terpesona oleh orasi Mughirah, kemudian melontarkan beberapa kalimat jawaban yang menghina. Dan di ujungnya ia marah: “Demi matahari! Besok aku perangi kamu!”
“Anda akan tahu besok,” jawab Mughirah.
“Aku sudah perintahkan memberi hadiah 1.000 dinar, sejumlah pakaian dan kuda, agar kamu segera meninggalkan negeri kami.”
“Apakah setelah ketakutan, Anda memberi kami hadiah? Demi Allah, kelak kami akan hancurkan negeri Anda…..”
Rustum kembali murka. Tapi itu tidak lama, tentunya, seperti hidupnya sendiri.
Sa’d ibn Abi Waqqash bergabung dengan Islam pada umur 17 tahun. Ia termasuk pasukan yang dikirimkan Nabi ke Rabigh. Ketika kaum musyrikin menyerang mereka, Sa’d melemparkan anak panahnya. Menurut riwayat Ibn Asakir, itulah anak panah pertama yang dilemparkan di dalam Islam. Salah satu anggota Panitia Enam untuk memilih khalifah pengganti Umar ini pensiun di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib r.a. Ia menghabiskan masa tuanya di sebuah dusun, sampai wafatnya pada 50 H atau sekitar tahun 674, dalam usia 80 tahun. Yang unik, kaum China Muslim di Tiongkok selalu mengaitkan bahwa Sa’d-lah yang mula-mula mengenalkan Islam di negeri Tirai Bambu itu. Yakni pada tahun 650 pada masa kekaisaran Gaozong dari Dinasti Tang, atau semasa kekhalifahan Utsman ibn Affan. Kini di Guangzhou terdapat Masjid Sa’d ibn Waqqash, dan disni pula terdapat kubur yang diyakini oleh kaum Muslim China sebagai tempat peristirahatan terakhir orang yang masuk dalam “10 Sahabat yang Digembirakan Nabi” ini