*Anis Sholeh Ba’asyin
Meski tasawuf bisa didekati dari beragam sudut dan cara pandang keilmuan, kita hanya akan mencoba mendekati tasawuf sebagai sebuah laku. Bukan sekadar laku, tapi laku berkualitas.
Apa yang dimaksud sebagai laku berkualitas adalah laku yang lahir dari pengetahuan, dibarengi dengan kemampuan melakukan dan dipungkasi dengan tindakan melakukannya dalam kenyataan.
Disamping itu, laku ini harus dikerjakan secara berulang, sehingga menetap dan menjadi kebiasaan yang secara alamiah muncul secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya dalam situasi apapun; sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai khuluq, wadag halus, untuk membedakannya dangan khalaq, wadag kasar/fisik.
Tidak seperti khalaq, wadag kasar sebagai wadah yang merupakan hak mutlak Allah dalam penciptaannya; khuluq, wadag halus sebagai isi jelas melibatkan upaya manusia dalam pembentukkannya. Ada khuluq yang mulia dan terpuji, ada juga khuluq yang hina dan tercela.
Meski manusia punya kemungkinan mengembangkan salah satu jenis khuluq ini, atau bahkan mungkin mencampur-adukkannya; bukan berarti ada kesetaraan dalam proses pembentukan khuluq mulia dan terpuji, dengan khuluq yang hina dan tercela.
Secara teoritis, khuluq mulia dan terpuji sesungguhnya lebih besar kemungkinannya untuk direalisasikan dibanding khuluq hina dan tercela. Ini karena rancangan Allah memang mengarahkan manusia pada pembentukan khuluq mulia dan terpuji, dan bukan khuluq yang hina dan tercela.
Diantara sekian banyak rancangan ini adalah diberinya manusia apa yang disebut sebagai nurani, yang punya kepekaan menolak segala yang hina dan tercela. Selain nurani sebagai benteng terakhir, ada juga elemen akal yang punya kemampuan memilah dan memilih antara yang mulia dan terpuji dengan yang hina dan tercela.
Laku berkualitas yang dituju oleh tasawuf adalah laku yang menghasilkan khuluq, wadag halus, yang mulia dan terpuji; bukan hanya dari satu sisi saja, tapi dari beragam sisi. Sangat mungkin, dari sinilah muncul pengertian akhlaq sebagai bentuk jamak dari khuluq.
Ironi yang sangat menonjol adalah kenyataan bahwa di era yang disebut sebagai era global ini, dimana beragam alat komunikasi yang canggih tersedia; komunikasi (dalam pengertian dasarnya: menyamakan) justru tidak terjadi, malah yang terjadi adalah sebaliknya. Ketika media sosial (yang semula dimaksud sebagai wadah alternatif interaksi sosial) bertebaran dimana-mana; interaksi sosial justru tidak kondusif.
Secara umum, kenyataan ini dengan satu dan lain cara bisa dilacak dan dihubungkan dengan hadirnya gejala yang dulu di era 80-an oleh filsuf postmodern Perancis, Jean Baudrillard, disebut sebagai hiper-realitas. Sebuah realitas palsu yang dengan beragam cara dihadirkan oleh media. Realitas palsu ini pada gilirannya membuat orang terputus dari hubungan langsung dan nyatanya dengan kenyataan di sekelilingnya.
Di sisi lain, Daniel Goleman di pertengahan tahun 2000-an, dalam bukunya Social Intelligence menengarai munculnya apa yang disebutnya sebagai gejala social-autism. Autisme sosial ini menurut Goleman muncul justru karena orang lebih sibuk dengan gawai/gadget; dan seolah sedang berkomunikasi (yang pada dasarnya semu), tapi justru luput dan terputus hubungannya dengan dunia nyata yang ada di sekitarnya.
Mungkin, secara berandai-andai, kita bisa menghubungkan dua sisi pandang ini, dengan munculnya apa yang kemudian (secara tidak terlalu tepat) disebut sebagai gejala post-truth. Istilah post-truth menurut Oxford Dictionary merupakan istilah paling populer di tahun 2016. Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah tersebut sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dalam situasi tersebut, hoax, framing, logical fallacy, dan sebagainya bertumbuh kembang tanpa kendali.
Dari satu sudut pandang, apa yang disebut post-truth ini, secara sederhana bisa dikatakan sebagai akibat langsung dari ledakan informasi yang lahir bersamaan era internet. Ledakan informasi ini bukannya membuat orang menjadi luas pandangannya, tapi sebaliknya -karena hilangnya ruang refleksi dan transendensi- seringkali justru membuat orang menjadi kehilangan titik pijak dan orientasi.
Hilangnya titik pijak dan orientasi inilah yang kemudian meredam akal sehat, dan membuat orang serta merta merujuk ke emosi sesaat dan keyakinan personalnya ketika harus menilai atau bertindak. Atau, paling jauh, berlindung di balik emosi dan keyakinan kelompok dimana ia merasa menjadi bagiannya.
Mungkin inilah masalah-masalah mendasar yang harus dihadapi manusia di masa kini. Apakah secara substansial ini semua adalah hal baru? Rasanya tidak. Sejak awal, manusia mempunyai potensi untuk terjerumus dalam situasi-situasi semacam ini. Titik tekan dan besarannya saja yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu.
Kalau pemetaan sementara ini bisa kita terima, setidaknya kita bisa mengatakan bahwa secara umum era ini gagal melahirkan manusia yang berakhlak; apalagi akhlak mulia dan terpuji, bahkan melahirkan akhlak hina dan tercela pun tampaknya gagal.
Kenapa? Karena manusia masa kini cenderung mencampur-baurkannya, dan semuanya bersifat sesaat, tidak menetap. Orang bisa tiba-tiba menjadi baik karena pengaruh umum di lingkungan, keyakinannya dan emosi sesaatnya. Sebaliknya, selang tak beberapa lama, ia bisa menjadi buruk atau bahkan jahat karena pengaruh yang sama.
Ini semua karena manusia kalah dengan situasi di luar dirinya; baik oleh situasi hiper-realitas sepertiyang disebut oleh Jean Baudrillard; menjadi social-autism seperti yang disebut Daniel Goleman; atau mengarus pada post-truth seperti yang ditengarai di Inggris.
Kekalahan ini bermula dari kegagalan manusia mengelola ledakan informasi (entah umum, entah bersifat pengetahuan), sehingga tak punya ruang dan waktu untuk merefleksi dan mentransendensikannya. Akibatnya, ledakan informasi ini tidak menghasilkan mutiara yang bisa mendorong kemampuannya dan pada ujungnya melahirkan tindakan nyata yang menetap dan terus-menerus sehingga menjadi khuluq; tapi malah menenggelamkannya dalam lautan sampah yang membuatnya tak punya kemampuan apa-apa kecuali mengaruskan tindakan pada gelombang di luar dirinya. Dengan kata lain, kehilangan kesejatian dirinya.
Tepat pada titik inilah, pendekatan tasawuf sebagai laku berkualitas pantas ditengok kembali sebagai acuan untuk menemukan kembali kesejatian manusia.

*Budayawan, tinggal di Pati Jawa Tengah sekaligus pendiri Rumah Adab Indonesia Mulia