Saudara Sugiantoro dari Bandung bertanya tentang aurat sehubungan dengan mahram. Bolehkah seorang muslimah menampakkan, auratnya di depan paman atau iparnya? Masalahnya, paman dan ipar termasuk yang tidak boleh dinikahi (QS 4: 23), tapi mereka tidak termasuk yang dikecualikan dari surah An-Nur 31. Yang kedua, apa maksud seorang perempuan yang sudah tua boleh melepaskan pakaian luarnya (An-Nur: 60)? Apakah ini berarti seorang muslimah harus mengenakan pakaian rangkap?
Jawaban Tim Muzakarah Panji
Pertama, untuk masalah mahram dalam Islam (biasanya disebut muhrim, tapi kata ini sebenarnya berarti “orang yang sedang berihram”), kita merujuk ke surah An-Nisa: 23: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu, anak perempuanmu, saudara perempuanmu, saudara perempuan bapakmu, saudara perempuan ibumu, anak perempuan saudara laki-lakimu, anak perempuan saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara perempuanmu sesusuan, ibu istrimu, anak perempuan dalam pemeliharaanmu dari (mantan) istrimu yang telah melakukan hubungan bersebadan dengan kamu, dan jika kamu belum bersebadan dengan dia maka tidak ada dosa atas kamu, istri anakmu, dan menggabungkan dua prempuan bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lalu. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”
Untuk lebih gampang, berdasarkan ayat ini, para ulama menyebut tiga kelompok kemahraman (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 130-138):
Pertama, mahram karena hubungan darah: ibu, nenek (ibu dari ibu dan ibu dari ayah serta ibu mereka masing-masing, dan seterusnya ke atas), anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun anak perempuan), cicit perempuan (dan seterusnya ke bawah), saudara perempuan seayah-ibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak-anak perempuan mereka (kemenakan), anak perempuan kemenakan (dan seterusnya ke bawah), bibi (saudara perempuan ayah maupun saudara perempuan ibu), bibi ibu, bibi ayah, bibi kakek dan bibi nenek (dan seterusnya ke atas). Kita perhatikan: dalam hal bibi, yang jadi mahram adalah bibi, bibi ayah dan seterusnya, tetapi anak-anak mereka (misan) tidak.
Kedua, mahram karena hubungan perkawinan. Mereka empat kelompok. Pertama: istri ayah, istri kakek, dan seterusnya ke atas, baik kakek dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, (Perhatikan: yang jadi mahram hanya istri ayah, istri kakek dan seterusnya, sedangkan anak-anak mereka, yakni saudara tiri atau ibu mereka tidak). Kedua: istri anak (menantu), istri cucu dan seterusnya ke bawah. Bagaimana dengan anak-anak mereka? Tentu saja haram. Bukankah anak menantu kita cucu kita? Ketiga: ibu istri, nenek (dari pihak ayah dan ibu) istri, dan seterusnya ke atas, baik kita telah bercampur dengan (mantan) istri maupun belum. Keempat: anak dari istri, cucu istri, dan seterusnya ke bawah, tapi itu hanya jika istri telah bercampur dengan kita.
Ketiga, mahram karena hubungan persusuan: ibu yang menyusui (ibu susuan), ibu dari ibu susuan, dan seterusnya ke atas, anak perempuan ibu susuan, anak perempuan saudara susuan, anak susuan, anak perempuan dari anak susuan, dan seterusnya ke bawah, bibi susuan (saudara perempuan ibu susuan maupun saudara perempuan ayah susuan), ibu susuan istri, nenek susuan istri, baik sang istri telah bersebadan dengan kita maupun belum, (mantan) istri ayah susuan, (mantan) istri kakek susuan, dan seterusnya ke atas, baik istri-istri mereka telah bersebadan dengan mereka maupun belum, (mantan) istri anak susuan, (mantan) istri cucu susuan, dan seterusnya ke bawah, baik telah terjadi persebadanan maupun belum, anak perempuan susuan istri, dan cucu perempuan susuan istri, jika telah terjadi hubungan badan dengan istri.
Melihat daftar di atas, ipar (saudara istri dan/atau suami dan istri dan/atau suami saudara) bukan mahram. Jadi, hukum mengenai aurat tidak lepas dari mereka. Sebaliknya paman adalah mahram.
Saudara Sugiantoro lalu bertanya soal perempuan lanjut usia, seperti disebutkan dalam An-Nur: 60: “Dan para wanita lanjut usia yang telah terhenti. (dari haid dan dari hamil), yang tidak ingin kawin, tidak ada dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka ….” Menurut banyak ahli tafsir, termasuk Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ibn Umar, dan Sa’id ibn Jubair (Tafsir Ibn Katsir, III: 304), yang dimaksud pakaian di situ adalah kerudung yang menutupi leher dan kepala, atau jubah. Abdullah Yusuf Ali menerjemahkannya dengan outer garments (The Holy Qur’an, 885). Memang ada kebiasaan wanita Arab berpakaian rangkap, antara lain dengan yang secara populer disebut abaya.
Demikian, semoga bermanfaat.