Beberapa waktu lalu, Saudari. Lily Siti Lailan dari Bandung menyaksikan sebuah pameran boneka di Erasmus Huis, Jakarta. Keistimewaan boneka kucing dipamerkan di sana, kata dia, selain lucu dan menggemaskan, bentuknya hampir menyerupai anak manusia. Bahkan, matanya nyaris “hidup”. Dia bertanya, “Bagaimana kalau saya mengoleksi boneka-boneka itu? Lalu, bagaimana pula dengan patung-patung?”
Jawaban Dr. H. Fathurrahman Djamil:
Sebelum menjawab pertanyaan Saudari, ada baiknya kita bahas terlebih dahulu latar belakang mengapa Islam memberikan perhatian khusus terhadap persoalan patung. Ini penting kita kaji, karena dari situ kita akan mengetahui wacana ikhtilaf (silang pendapat) ulama dalam masalah tersebut.
Ketika Alquran turun, kondisi masyarakat di Jazirah Arabia sangat mengenaskan. Yakni, di sebuah masa yang penuh kegelapan, yang juga disebut sebagai zaman jahiliah. Ajaran tauhid Nabi Ibrahim a.s. meredup dan hanya dipegangi oleh segelintir orang, sementara penyembahan berhala menjadi sesuatu yang lumrah dan merata pada waktu itu. Mereka membuat patung-patung dan meletakkannya di sekitar Ka’bah. Alquran merekam pengakuan mereka: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS 39: 3). Alquran diturunkan untuk mengikis segala kesesatan ini; membebaskan manusia dari segala bentuk penyembahan selain kepada Allah. Karena itulah, kisah Nabi Ibrahim dan penghancuiran berhala-berhala olehnya dituturkan berulang-ulang dalam kitab suci ini.
Dalam banyak hadis, Rasulullah s.a.w. juga mengecam pembuatan patung dan gambar yang menyerupai makhluk bernyawa. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “Barangsiapa membuat gambar (shurah) di dunia, maka pada hari kiamat kelak dia akan dituntut menghembuskan ruh ke dalamnya, padahal ia tidak bisa menghembuskan (ruh)” (HR Bukhari).
Dalam hadis lain, Masruq bercerita bahwa ia bersama Abdullah masuk sebuah rumah yang di dalamnya terdapat patung-patung (timtsal). “Ini patung siapa?” tanya Abdullah sembari menunjuk patung wanita. Mereka menjawab: “Itu adalah patung Maryam.” Abdullah lalu mengutip sabda Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya orang yang paling pedih siksaannya di hari kiamat kelak adalah para pembuat patung (al-mushawwirun)” (HR Bukhari-Muslim).
Melihat ayat-ayat dari hadis-hadis dalam konteks ummah watsaniyah (masyarakat penyembah berhala) tersebut, maka kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa reason d’etre (illat atau alasan utama) adalah kekhawatiran patung-patung itu akan dijadikan tuhan-tuhan yang disembah selain Allah atau sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam surah Az-Zumar ayat 3.
Tapi inilah persoalannya. Sebagian ulama cenderung memahami ayat-ayat dan hadis-hadis itu secara tekstual (apa adanya) sehingga mereka mengharamkan segala sesuatu yang berbentuk makhluk bernyawa. Pada hemat saya, perlu ada pemahaman yang lebih komprehensif. Persoalannya bukan pada betapa keras Alquran dan hadis mengecam patung-patung dan para pembuatnya, tapi itu menyangkut pola-nilai yang ditawarkan Alquran untuk sebuah ajaran monoteisme (tauhid) di tengah-tengah umat penyembah berhala. Alquran menyuguhkan dialog-dialog diskursif-argumentatif dan logis (terutama dalam kasus Nabi Ibrahirn) tentang perjuangan para Nabi berhadapan dengan kaum penyembah berhala. Tak terkecuali mujahadah (perjuangan) Nabi Muhammad s.a.w. di.. tengah paganisme masyarakat Arab.