Bom bunuh diri seorang ibu dan anaknya yang baru berusia dua tahun di Sibolga, Sumatra Utara, belum lama ini menyadarkan publik betapa “perang melawan terorisme” masih jauh dari kata usai. Yang lebih memilukan, para militan tak segan menggunakan anak-anak dalam misi bunuh diri mereka. Mereka tega memanfaatkan institusi suci bernama “keluarga” untuk melakukan teror dan menyebarluaskan ideologi ekstrimisme.
Tidak jelas apa alasan Solimah, warga asal Padangsidempuan, sampai hati meledakkan diri bersama anak yang masih berusia balita di rumah mereka di Jl. Cendrawasih, Kelurahan Pancuran Bambu, Kecamatan Sibolga Sambas, Kota Sibolga, pada Rabu dini hari (13/3). Negosiasi sembilan jam yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat tak mampu melunakkan hati Solimah untuk ikut menyerah setelah personil Detasemen Khusus 88 Mabes Polri membekuk sang suami, terduga teroris Husain alias Abu Hamzah, pada Selasa sore (12/3). Polisi menyebutkan terduga teroris Husain adalah pemimpin Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok radikal ISIS.
Ekstrimisme ancaman besar bagi masyarakat, negara dan bangsa. Penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok ekstrimis satu dekade terakhir di berbagai penjuru dunia telah menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Penembakan membabi-buta jemaah sholat Jumat di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, oleh Brenton Harrison Tarrant belum lama ini gambaran nyata dampak merusak ekstremisme bagi kehidupan umat manusia. Gambar yang beredar viral di sosial media memperlihatkan Tarrant, yang diapit aparat kepolisian, menggunakan tangannya yang terborgol untuk memperlihatkan simbol “OK” yang lazim digunakan oleh para pendukung “white supremacy (supremasi kulit putih)” serta para provokator internet sayap kanan. Limapuluh orang, yang satu di antaranya adalah warganegara Indonesia, tewas dalam insiden Christchurch.
Kehancuran keluarga, baik di pihak korban maupun pelaku serangan, jelas kerugian terbesar esktremisme karena keluarga kunci keberlangsungan generasi bahkan perkembangan peradaban. Bom bunuh diri di Sibolga terjadi ketika ingatan masyarakat belum sepenuhnya pulih dari peristiwa keji serangan bunuh diri enam orang anggota sebuah keluarga ke tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu pagi, 13 Mei 2018. Empatbelas orang, termasuk pelaku, tewas dan 41 lainnya luka-luka.
Pada Minggu sore, bom rakitan meledak di rusun yang dihuni sepasang suami istri dan empat anak mereka di rusun Wonocolo, Taman Sidoarjo, Jawa Timur. Bom rencanaya dipakai menyerang sebuah target di Surabaya tetapi meledak prematur dan menewaskan dua anggota keluarga, Puspitasari, 47, dan anak tertua yang berinisial HR, 17.
Selang sehari kemudian, pada Senin pagi, 14 Mei 2018, empat anggota sebuah keluarga melancarkan serangan bom bunuh diri ke Markas Kepolisian Surabaya. Empat pelaku yang menggunakan sepeda motor semuanya tewas sedangkan gadis berusia 8 tahun yang membonceng salah seorang pelaku berhasil selamat. Serangan menewaskan tiga polisi dan menciderai tiga warga sipil.
Rangkaian serangan teror membuat masyarakat Indonesia terus berada di lingkaran kekerasan. Keterlibatan keluarga-keluarga Muslim dalam terorisme mengisyaratkan ekstrimis tak pernah kehabisan akal untuk menyebarkan ideologi kekerasan mereka. Ekstremisme di sebagian kalangan Muslim telah melahirkan sikap intoleran yang berujung pada aksi-aksi kekerasan dan tindakan teror yang mengatasnamakan agama (Islam) dan semua itu berawal dari kekeliruan dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Alquran dan hadist Nabi.
Ayat Alquran yang menyebutkan bahwa Allah menyuruh kaum muslimin untuk berlaku kasih sayang terhadap sesama muslim, tetapi bertindak keras (jihad) terhadap kaum kafir, menjadi salah satu dalil yang paling sering dikutip kelompok-kelompok ekstrimis. Pemahaman secara literal atau harafiah terhadap ayat ini mendorong munculnya aksi-aksi kekerasan, seperti pengeboman, pengrusakan tempat ibadah dan penyerangan kelompok-kelompok yang dianggap sesat sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.
Sementara dalam sejumlah kitab fiqih, jihad cenderung dimaknai sebagai upaya membela kaum mustadh’afin, yaitu orang-orang yang lemah dan diperlemah. “Jihad dalam arti praktis, berjihad dalam keseharian, adalah membantu orang-orang yang lemah dan diperlemah. Itulah jihad yang kongkret,” ungkap ulama senior KH Ali Yafie dalam perbincangan dengan tim Panji Masyarakat belum lama ini.
Kecenderungan memahami ayat-ayat secara harafiah tampak kentara di kalangan ekstrimis, seperti terdakwa teroris Aman Abdurrahman yang menyerukan jihad (perlawanan) terhadap pemerintah Indonesia yang ia sebutkan tidak berlandaskan syariat Islam. Tampaknya ia mengacu pada ayat yang mengatakan bahwa mereka yang tidak mendasarkan kehidupannya pada hukum Allah, maka mereka termasuk orang yang zalim, kafir.
Dalam persidangan perkara serangan teror di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 6 April 2018, para saksi ahli menyimpulkan bahwa melalui tulisan-tulisannya, Aman Abdurrahman secara tidak langsung telah mengajak para jihadis menegakkan syariat Islam dan menentang pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinilai thogut serta tidak pantas diikuti.
Kasandra Putranto, ahli psikologi klinis dan forensik, mengungkap di persidangan bahwa Aman Abdurrahman menggarisbawahi sejumlah kata yang dia anggap penting di dalam tulisan-tulisannya, yaitu yang terkait khalifah. Ada hal-hal (yang disebutkan dalam tulisan-tulisan itu) harus dilawan apabila tidak sesuai dengan keyakinan, ungkap Kasandra.
Terungkap lebih jauh di persidangan bahwa JAD, organisasi yang dibentuk Aman Abdurrahman, menjadi wadah memperjuangkan dan menegakkan prinsip-prinsip syariat Islam di Indonesia.