Ads
Tasawuf

Buah Istiqamah dan Hati yang Rapuh

Manusia yang hatinya Istiqamah mampu melakukan hubungan dengan dunia dan dapat mengubah realitas, sesuai dengan ketauhidannya

Menurut  Islam kehidupan manusia harus dibangun berdasarkan tauhid (unitas). Tauhid selain kepastian metafisis tentang keesaan Tuhan, juga metode integrasi, suatu cara untuk menyadari ketunggalan segala eksistensi. Setiap aspek Islam berkisar pada doktrin tentang Unitas yang harus disadari lahir dan batin. Setiap penyataan akan perwujudan harus dihubungkan dengan pengakuan jujur akan keesaan Tuhan. Ini dimaksudkan agar manusia mampu mencapai keutuhan dalam berpikir dan bertindak. Setiap tindakan manusia, bahkan cara makan dan berjalan harus merupakan manifestasi dari norma spiritual yang ada dalam pikiran dan hatinya.   

            Tauhid juga menyatukan antara ucapan dan pikiran. Karena itu segala bentuk pandangan hidup dan sikap harus pula dilandasi oleh keyakinan tauhid ini. Inilah yang membuat setiap muslim menjadi Istiqamah (konsisten). Sikap konsistensi ini dilahirkan dan sekaligus merupakan pancaran dari keyakinan akan kebenaran yang dikandung oleh ajaran Islam yang kita yakini. Bagi umat Islam yang utama adalah menjaga diri (taqwa), yakni memelihara kehidupan agar senantiasa taat dan patuh kepada Allah. Mereka yang konsisiten seperti ini tidak pernah takut dan ragu, dan inilah yang membuatnya hidup tenang dan sejahtera. Allah berfirman dalam surat Fushshilat: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (Q.S. Fushshilat:30).

            Demikian janji Allah bagi orang-orang yang konsisten terhadap kebenaran yang diyakini dan diperjuangkannya. Sungguhpun perjuangan itu berat, tetapi bagi orang-orang yang konsisten terhadap keyakinan dan perjuangannya akan mendapatkan balasan yang setimpal. Mereka inilah yang disebut juga sebagai orang-orang yang berpendirian, yang memiliki sikap dan tidak latah. Sementara mereka yang hatinya tidak Istiqamah, labil dan mudah tergoyahkan yang pendiriannya bolak-balik, tergantung kepada angin bertiup, maka kehidupannya tidak akan tenteram, karena mudah dipermainkan oleh keinginan dan hasrat yang tidak pasti. Orang seperti ini batinnya juga tersiksa, karena tidak punya pendirian dan tidak pula punya perjuangan, sehingga akhirnya tidak punya pilihan yang pasti.

           Orang-orang yang hatinya lurus dan Istiqamah adalah mereka berperan sebagai subyek, yang menentukan jalan hidupnya sesuai keyakinannya sendiri, dan tidak ditentukan oleh orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang tidak punya pendirian, dan mudah menyesuaikan hidupnya dengan keinginan orang lain adalah sebagai obyek. Kemampuan hidup sebagai obyek adalah bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Sebab, seseorang yang menyesuaikan dirinya dengan kehendak orang lain – tanpa dasar keyakinan yang pasti dari dirinya sendiri —  pada dasarnya karena ia tidak mampu mengubah realitas, dan ia diliputi oleh ketakutan dan keraguan. Dalam ilmu pedagogis, gejala seperti ini disebut juga sebagai gejala dehumanisasi.

           Manusia yang hatinya Istiqamah (berpendirian teguh) mampu melakukan hubungan dengan dunia dan dapat mengubah realitas, sesuai dengan ketauhidannya. Sebab di situ, ia dapat menanggapi tantangan-tantangannya dan akhirnya hidup dinamis, yang secara bertahap mampu melakukan perubahan-perubahan. Sementara mereka yang hidupnya sebagai obyek tenggelam dalam realitas dan tidak mampu melakukan perubahan. Ia determistik (pasrah) terhadap keadaan, tanpa memahami ujung-pangkalnya, mengapa ia begitu adanya.

            Manusia yang beriman dan konsisten memainkan peranan yang menentukan dalam mewujudkan garis perjuangan untuk transformasi. Dapat tidaknya seseorang menangkap tema-tema zamannya, dan terutama bagaimana ia menangani realitas yang melahirkan tema-tema itu, sebagian besar akan menentukan apakah ia mengalami humanisasi atau dehumanisasi, pengukuhan sebagai subyek atau pemerosotan sebagai obyek. Hanya bila manusia mampu menangkap tema-tema zamannya, ia akan dapat campur tangan dalam menangani realitas, tidak lagi tinggal diam sebagai penonton semata-mata. Dan hanya dengan terus menerus mengembangkan sikap kritis, dan bekerja bersama kita dapat mengatasi kecenderungan deterministis dan mengubah dunia yang sudah terkotak-kotak yang penuh dengan mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekutan sosial yang penuh kuasa ini menjadi dunia yang religius dan beradab yang dapat melahirkan kesejahteraan dan persaudaraan di antara sesama kaum beriman.

           Hati yang Istiqamah tidak akan pasif menangkap dan memahami realitas kehidupan ini. Mereka akan selalu aktif dan kritis dengan berjuang yang terus menerus untuk menentukan perubahan. Sebab orang-orang seperti ini tidak pernah takut dan ragu. Allah berfirman dalam surat Al-Ahqaaf: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (Q.S. Al-Ahqaaf: 13)   Hati dan keyakinan yang Istiqamah membangun pendirian yang teguh, dan kuat. Ia tidak takut dan khawatir terhadap tantangan dan permasalahan kehidupannya. Dan terus berjuang, karena keimanan itu memerlukan perwujudan amal shalih yang juga harus merefleksikan tatanan kehidupan atas buah perjuangan visi – misi keimanannya

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading