Muzakarah

Antara Tradisi dan Logika

Berdasarkan hadis pula ditetapkan bahwa khutbah dua hari raya sunah hukumnya. Mengapa tidak wajib? Abdullah ibnus-Sa’ib r.a. menceritakan pengalamannya salat Idul Fitri bersama Rasulullah s.a.w. Usai salat, tuturnya, Nabi bersabda: “Kami akan berkhutbah. Siapa yang ingin duduk untuk (mendengarkan) khutbah, silakan duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan pergi.” Jadi, berbeda dengan khutbah Jumat (ada yang bilang, khutbah Jumat menjadi pengganti dua rakaat pada salat zuhur), khutbah Id tidak menjadi syarat sah salat.

Sama dengan khutbah Jumat, khutbah dua hari raya juga terdiri atas dua bagian, dan keduanya dipisahkan dengan duduk. Dalam hal ini semua mazhab sepakat. Juga kitab Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili yang Saudara-saudara sebutkan. Sementara yang dimaksud dengan “ajaran Mazhab Syafi’i” yang disebutkan dalam kitab itu bahwa khutbah Id tidak punya syarat-syarat seperti yang mengikat khutbah Jumat, adalah bahwa dalam khutbah dua hari raya sang khatib misalnya tidak disyaratkan berdiri.

Abu Sa’id Al-Khudri r.a. menuturkan, Nabi s.a.w. pernah dilihatnya berkhutbah Idul Fitri di kendaraan beliau (seraya duduk). Di samping itu, khatib tidak harus suci dari hadas (punya wudu, dan tidak sedang junub), tidak harus tertutup auratnya, dan tidak harus duduk di antara dua khutbah. Semua itu hanya sunah.

Adapun yang diperselisihkan Mazhab Hanafi di satu pihak dan jumhur (mayoritas ulama) di pihak lain adalah perkara duduk menjelang khutbah. Menurut Imam Abu Hanifah, khatib tidak perlu duduk seperti pada khutbah Jumat. Pasalnya, kalau sebelum khutbah Jumat khatib perlu duduk setelah mengucapkan salam sambil menunggu azan selesai, khutbah id tidak mengenal azan. Sementara menurut tiga mazhab lain, khatib Id perlu duduk dulu, beristirahat. Jadi, antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi tidak ada persoalan bilangan khutbah. Mereka sudah sepakat.

Masalah bilangan itu baru muncul belakangan. Itu dicerminkan misalnya oleh As-Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah, Juz I). Di situ disebutkan: Segala riwayat yang mengatakan bahwa pada salat Id terdapat dua khutbah, yang dipisahkan dengan duduk, lemah.

Memang. Tidak ada satu pun hadis marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi), baik berisi perkataan, perbuatan maupun pengakuan Nabi s.a.w., yang tegas-tegas menyebut dua khutbah pada dua hari raya. Semuanya menyebut al-khutbah. Atau, pada satu hadis, nakhthubu (“kami berkhutbah”). Kalau begitu mengapa para imam mazhab menyatakan khutbah terdiri atas dua bagian? Ternyata, Saudara-saudara, satu hal perlu kita pahami. Yakni, tidak seluruh detil ibadah tercantum dalam nas, apakah itu ayat atau hadis. Bisa kita bayangkan, kalau semua rincian tersedia, dan semuanya definitif (qath’iyud dalalah), tidak ada perbedaan pendapat. Artinya, tidak ada diskusi dan tidak ada dinamika. Dari kenyataan ini juga kita pahami bahwa perbedaan pendapat, juga perubahannya, dari semula tidak dilarang, bahkan merupakan keniscayaan. Yang dilarang, seperti yang kita ketahui, adalah pertikaian.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda