Ads
Muzakarah

Tentang Nikah Siri

Yang agak lain adalah Hanbali. Menurut mazhab ini, akad yang diembeli-embeli pesan kepada para saksi untuk merahasiakannya tidak batal. Hanya makruh saja.

Maliki dan Hanafi juga bersilang pendapat mengenai kapan kesaksian diberikan. Hanafi, dan sebagian besar ulama lain, berpendapat bahwa para saksi harus hadir sewaktu akad nikah berlangsung. Dasarnya: kesaksian adalah syarat sah dari rukun, dalam hal ini akad. Di samping itu, hadis Nabi yang berarti “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi adil” pada lahirnya menghendaki bahwa kedua saksi (dan wali) itu hadir saat ber-langsungnya akad. Sedang mazhab Maliki membolehkan kesaksian diberikan sesaat setelah akad nikah dan sebelum pasangan itu melakukan persebadanan. Alasannya: Kesaksian adalah syarat sah nikah. Alhasil, kesaksian saat akad nikah tidak harus ada, melainkan sunah saja.

Seperti halnya kesaksian, perwalian juga merupakan syarat bagi sahnya nikah. Hadis-hadis yang telah disebut di atas menegaskan hal itu. Di samping itu, Nabi secara lebih gamblang juga pernah bersabda, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinyaa, maka nikahnya batal, batal, batal.”

Lihatlah, Nabi bahkan merasa perlu mengulang kata batal hingga tiga kali. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan firman Allah yang artinya: “… maka janganlah kalian (para wali) mencegah mereka (para wanita) untuk menikah dengan suami-suami mereka.” Jadi, kata Imam Syafi’i, kalaulah izin wali tidak diperlukan, maka pencegahannya tidak punya arti apa-apa. Pandangan ini dipegang oleh sebagian besar ulama.

Tapi, lain pula pendapat Hanafi. Menurut mazhab ini, perwalian bukan syarat sah nikah, melainkan anjuran saja. Untuk ini mereka mengajukan tiga ayat sebagai dasar, yaitu “Jika ia (suami) menalaknya (untuk yang ketiga kali), maka ia tidak halal baginya sampai ia menikahi suami lain”; “Dan jika kalian menalak para wanita (istri-istri kalian), kemudian tibalah mereka pada masa (akhir idah) mereka, maka janganlah kalian mencegah mereka untuk menikahi suami mereka”; dan “Maka jika mereka sampai ke masa (akhir idah) mereka, tidak ada dosa (beban) atas kalian tentang apa yang mereka perbuat dengan ma’ruf”.

Ternyata, pada ketiga ayat ini wanita dijadikan sebagai subjek. Lantas bagaimana dengan persoalan “pencegahan wali”, seperti disebut pada ayat kedua? Ayat ini tidak berbicara kepada wali, tapi kepada suami, demikian mazhab Hanafi berargumentasi. Dengan begitu, yang dilarang mencegah “wanita untuk menikahi lelaki lain” bukan wali, tapi suami. Ada juga hadis yang diajukan Hanafi untuk memperkuat pendapat mereka. “Janda lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya. Perawan dimintai izin. Jika ia membisu, itu artinya ia setuju,” demikian Nabi pernah bersabda.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading