Tidak Ikut Tarekat
Sebelum menjadi seorang ‘alim, Nawawi belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain (sebutan untuk dua kota suci Mekah dan Madinah), di antaranya Syekh Ahmad An-Nahrawi, Syekh Sayyid Ahmad Ad-Dimyathi, Syekh Sayyid Ahmad Dahlan, dan Syekh Ahmad Khtaib Sambas. Yang disebut terakhir ini adalah pemimpin tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiah, penulis kitab Fat-hul Arifin, bacaan pengamal tarekat di Asia Tengara. Syekh Sambas juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekkah untuk menggantikan kedudukannya. Lima organisasi tarekat di Jawa yang paling berpengaruh dan memiliki ratusan ribu pengikut menyambungkan silsilah mereka ke Abdul Karim.
Adapun Syekh Nawawi tidak mengikuti gurunya, Syekh Sambas, memimpin tarekat. Bukan karena dia menolak tarekat yang “bersih” . Seperti mahaguru Masjidil Haram lainnya, Nawawi hanya menjelaskan karya-karya ahli tasawuf yang unsur etika (akhlak)-nya lebih di pentingkan ketimbang hal-hal gaib. Syekh Nawawi memang menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekah, khasnya orang Indonesia-Melayu atau orang-orang “Jawa” menurut istilah orang Mekah. Akan tetapi itu hanya penghormatan kepada ilmu. Adapun dalam pergaulan sehari-hari, Syekh tampaknya ikut saja, tanpa mendominasi percakapan. Jangan mengharapkan Syekh yang memulai diskusi ilmiah.
Banyak orang Indonesia-Melayu atau orang Nusantara yang belajar kepada Syekh Nawawi, dan kebanyakan dari mereka kemudian menjadi kiai-kiai terkemuka di pesantren-pesantren di Tanah Air, di antaranya KH Kholil dari Bangkalan Madura, KH Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng di Jombang dan pendiri Nahdlatul Ulama, dan KH Asnawi dari Caringin Banten, mertua KH Tubagus Ahmad Khatib, pejuang 45 di Banten yang terkenal itu.
Syekh Nawawi termasuk ulama yang subur menulis. Ada sekitar 38 karya Nawawi yang penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Yang paling terkenal tentu tafsir Murah Labib yang juga dikenal sebagai tafsir Al-Munir. Sampai sekarang kitab-kitab karangan Syekh Nawawi masih dipelajari di pesantren-pesantren di Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur Tengah, dan menjadi bahan kajian di universitas-universitas kita. Berbeda dengan karya ulama sezamannya sepeti Al-Banjari atau Syekh Khatib Al-Minangkabawi yang menulis dalam bahasa Melayu, kitab-kitab Syekh Nawawi seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab.
Meskipun Syekh Nawawi tidak menghendaki peranan politik untuk dirinya, karena ambisi pribadinya, seperti dikatakan Snouck Hurgronje, hanya terbatas di bidang mengarang, tidak berarti Syekh menutup mata terhadap perkembangan politik di tanah airnya. Dalam pembicaraannya dengan orientalis Belanda itu, Nawawi menyatakan rasa syukurnya ketika Belanda menghadapi banyak kesulian di Aceh. Dia juga berpendapat bahwa Tanah Jawa tidak seharusnya diperintah oleh orang Eropa. Kata Sonouck, “Andaikan Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pastilah dia (Nawawi) akan menerima berita itu dengan gembira.” Tetapi tidak dengan sendirinya antikafir. Kepada mereka yang tidak menjajah, Nawawi membolehkan kaum Muslimin bekerja sama dengan kebaikan dunia.