Mutiara

Intrik Politik di Sekitar Sahabat Nabi. Dari Kisah Ali Vs. Mu’awiyah

Mengapa umat berselisih mengenai Anda, dan tidak mengenai Abu Bakr dan Umar?” bertanya seseorang kepada Ali ibn Abi Thalib r.a.
Saidina Ali menjawab dengan santai: “Karena Abu Bakr dan Umar menjadi wali orang seperti saya. Sedangkan saya menjadi wali orang seperti kamu.”

Itu jawaban Khalifah, seorang moralis yang sebenarnya bukan politikus. Ketika menantu Nabi ini baru saja dibaiat, Mughirah ibn Syu’bah r.a.menasihatinya supaya mencopot Mu’awiyah, Zubair, dan Thalhah r.a., dari kedudukan mereka, sehingga diharapkan rakyat akan membaiatnya secara bulat. Tapi Ali menolak. Tidak fair, katanya. Esoknya, Mughirah datang lagi untuk menarik sarannya yang, setelah dipikirkan, memang tidak baik. Ali menimpali, “Tidak, Bung. Saya tahu nasihat Anda baik. Hanya kebenaran mencegah saya mengikuti nasihat yang baik itu.”
Situasi itu mirip yang meliputi Utsman ibn Affan r.a., ketika menghadapi para perusuh yang sudah mengepung rumahnya dan menuntutnya mundur. Waktu itu kedua putra Ali, Hasan dan Husain, lalu Abdulllah ibn Umar, Ibn Ja’far, r.a., dan lain-lain datang untuk membela Utsman. Namun, demi menghindari pertumpahan darah, Utsman menolak, dan akhirnya menjadi korban pembunuhan.

Ali kemudian dibaiat. Tapi ya, tidak tercapai dukungan penuh. Mu’awiyah, gubernur Syam (kawasan yang meliput Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina dan tentu saja Israel sekarang) menolak terang-terangan dan menyatakan akan menuntut kematian Utsman. Situasi semakin sulit setelah Aisyah, bersama Zubair dan Thalhah r.a., mendesaknya agar mengusut dan mengambil tindakan hukum kepada para pembunuh Utsman. Ali, sebaliknya, menolak membuat komite penyelidikan yang mereka usulkan.
Kepada Thalhah dan Zubair ia berkata, “Saya sendiri tidak kurang inginya melakukan hal yang sama. Tapi saya tidak bisa. Sekarang keadaannya sangat kritis. Gangguan keamanan di pusat pemerintahan dapat mendorong orang Badui dan orang asing berontak. Kalau ini terjadi, sekali lagi tanah Arab akan kembali ke zaman jahiliah. Padahal mereka di luar kontrol kita. Tunggu dan lihatlah, sampai Allah menunjukkan kepada saya jalan keluar dari kesulitan ini.”

Tapi situasi politik tidak membiarkannya menunggu. Sikap wait and see-nya malah menimbulkan spekulasi “Khalifah merestui kaum perusuh”.
Kelompok Tiga tadi juga tidak sabar. Mereka membentuk pasukan, dipusatkan di Basrah. Ali, yang baru memerintah lima bulan, akhirnya meninggalkan Ibu Kota Madinah, menuju Kufah yang rakyatnya lebih bulat mendukungnya. Dia sendiri yang menjadi panglima pada clash (wiq’ah) yang disebut Perang Unta itu, yang mendapat namanya dari pilihan Aisyah untuk memimpin bala tentara dari punggung unta. Perlawanan dapat ditumpas dengan mudah. Thalhah dan Zubair tewas. Aisyah diringkus dan Ali memulangkan mantan mertua tirinya itu ke Madinah. Inilah kali terakhir janda Rasulullah yang tangkas dan brilian itu terlibat kegiatan politik, untuk kemudian tinggal di rumah,menjadi tempat bertanya kaum muslimin mengenai segala ihwal.

Ali kini tinggal menghadapi Mu’awiyah, jenderal dan negarawan jenius, yang di back-up oleh Amr ibn Al-Ash yang tak kalah licinnya. Setelah bertempur kurang-lebih tiga bulan, pasukan Ali berhasil meduduki tempat-tempat strategis dan Mu’awyiah tinggal menghitung menit-menit terakhir. Tapi lihatlah: Mu’awiyah dan Amr memerintahkan pasukan melekatkan lembar-lembar Al-Qur’an di ujung tombak mereka. Terjadi genjatan senjata. Berikutnya Ali — yang sebenarnya di atas angin — toh bersedia menerima arbitrase. Untuk ke Mu’awiyah mengutus Amr, sedangkan Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang tua yang saleh.

Arbitrase berkibat fatal di pihak Ali. Menurut Abu Musa, masalah khalifah sebaiknya diserahkan kepada kaum muslimin: biarlah mereka sendiri yang memilih. Amr setuju. Lalu mengusulkan agar kedua pihak lebih dulu menyatakan pencopotan Ali dan Mu’awiyah. Tentu saja tidak ada masalah bagi Abu Musa yang berpikiran lurus itu. Ia tampil, menyatakan memakzulkan Ali, dan menyilakan umat memilih.
Giliran Amr naik, ia menandaskan bahwa Abu Musa sendirilah yang secara resmi telah mencopot Ali. Lalu, dalam keadaan tidak ada khalifah yang lain, ia menyatakan pihaknya mendukung Mu’awiyah. Ulama sepuh ini langsung cabut, berangkat ke Madinah, ziarah ke makam Nabi.
Manuver itu bukan main pengaruhnya bagi moral pihak Ali. Paling tidak, Ali harus menghadapi kelompok pengikutnya yang kecewa berat. Toh ia tetap memprioritaskan Mu’awiyah. Kelompok pengikut itu kemudian keluar (dan karenanya disebut Khawarij), sambil menyatakan bahwa Mu’awiyah maupun Ali sudah kafir. Mereka bisa ditumpas.
Tetapi hanya di permukaan.

Pada suatu subuh, ketika Ali keluar ke masjidnya di Kufah, beberapa Khawarij menghadangnya dan menghujamkan khanjar (pisau melengkung) ke tubuh khalifah yang saleh ini. Mereka juga menghadang Mu’awiyah dan Amr ibn Ash. Tapi kedua-duanya tidak keluar. Ali wafat pada usia Nabi: 63 tahun, tanggal 17 Ramadan, yang juga tanggal wafatnya Aisyah di belakang hari. Pemerintahannya berlangsung empat tahun sembilan bulan. Ketika Al-Hasan, putra Ali demi kerukunan umat menyerahkan hak pemerintahan kepada Mu’awiyah, khalifah ini mengumumkannya tahun 41 Hijri itu sebagai ‘Amul Jama’ah, Tahun Rekonsiliasi. Beres.

Menurut Ibn Khaldun, Ali dan Mu’awiyah tidak berperang untuk tujuan duniawi, untuk preferensi tak berharga, atau karena kebencian personal. Perselisihan mereka merupakan buah ijtihad mengenai letak kebenaran. “Meskipun Ali yang benar, tujuan Mu’awiyah tidaklah jahat,” kata sejarawan itu.
Yang hebat, Ali sendiri mengakui perbedaan yang hanya ijtihad itu. “Menurut kita, kita yang benar,” katanya “sedangkan menurut Mu’awiyah dia yang benar.” Ini melulu soal politik, bukan agama. Karena itu tokoh yang sebenarnya lebih merupakan seorang intelektual ini, yang namanya di dunia Islam (Ahlus Sunnah) diiringi doa karamallahu wajhah (‘Semoga Allah memuliakan wajahnya’), menyalati korban perang dari pihaknya maupun pihak Mu’awiyah.

Nah. Kenapa urusan politik yang ramai dibicarakan dan dipertentangkan akhir-akhir ini oleh sebagian kaum Muslim dianggap urusan agama? Akibatnya tidak sedikit orang yang mencap atau dicap kafir, munafik, gara-gara beda pilihan politik.

Sumber: Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (1987); Taha Hussein, Al-Fitnatul Kubra; M.A. Shaban, Islamic History, A New Interpretation Vol. I (976)

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda