Kemunculan Samsung Galaxy Fold dengan inovasi layar lipat akhir Februari lalu tidak serta merta membuat gaya hidup berponsel akan berubah. Mengapa?
Mungkin Anda akan terbelalak ketika muncul teaser tentang ponsel yang bisa dilipat (foldable) di sejumlah kanal media. Bukan ponsel yang bisa dilipat lho tetapi layarnya yang bisa dilipat layaknya kertas. Jadi ketika dibuka smartphone jadi lebih mirip seperti tablet mini, sedangkan saat tertutup akan seperti ponsel pintar kebanyakan.
Inilah yang dirilis oleh Samsung pada 21 Februari 2019 lalu di Amerika Serikat. Vendor Negeri Ginseng Korea ini tampaknya memang sedang mengetes pasar ponsel premium karena harganya terbilang fantastis. Di Amerika Serikat, ponsel ini akan tersedia akhir April nanti dengan harga USD 1.980. Harga itu sekitar Rp.24 juta dan mulai diinden untuk pasar Tanah Air.
Harga selangit itu boleh jadi untuk membiayai riset dan pengembangan serta fitur yang disertakan boleh dibilang ajaib. Ada 5 kamera di ponsel ini, 3 kamera depan dan 2 kamera belakang. Belum lagi akses ke jaringan 5G yang juga belum banyak komersial di berbagai negara. Soal fitur kamera, entah mengapa vendor saat ini cenderung jor-joran untuk menyertakan kamera dengan pelbagai keunggulan. Padahal dari sudut konsumen, belum tentu semua kamera itu termanfaatkan dengan baik.
Belum Revolusi
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah lantas keberadaan layar lipat akan mengubah secara dramatis orang menggunakan ponsel. Untuk hal ini ingatan saya terlempar 12 tahun lalu ketika Apple mengenalkan iPhone pertama kali. Saat itu saya pernah berburu untuk merasakan sensasi ponsel besutan Steve Jobs itu. Akhirnya di sudut kecil toko di ITC Roxy Mas saya memegang ponsel itu pertama kali.
“Ini gila,”pikir saya.
“Tak satupun tombol ada di iPhone, kita dipaksa untuk menyapu layar dengan jari untuk navigasi,”. Saat itu nyaris semua orang di Indonesia menggunakan ponsel dengan keypad alias tombol ketik. Jadi nyaris tak mungkin orang mau menggunakan layar sentuh.
Soal navigasi inilah yang kemudian membawa ketenaran iPhone dalam sekejap dan akhirnya diikuti oleh Google yang mengenalkan sistem operasi Android yang juga menggunakan navigasi layar sentuh. Kenyataannya sekarang. Bakal terasa aneh melihat orang bermain-main menggunakan ponsel keypad. Kalaupun masih biasanya hanya diandalkan untuk telepon dan SMS belaka. Inovasi layar sentuh dari Cupertino ini membawa revolusi yang serta merta mengubah gaya hidup orang menggunakan ponsel.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah layar lipat akan membawa revolusi baru? Belum tentu. Mungkin sejumlah vendor Tiongkok seperti Huawei dan Xiaomi akan merilis ponsel serupa dengan harga yang akan terus turun ketika menjadi produk massal. Tetapi apakah mudah untuk mengubah kebiasaan orang yang sudah nyaman dengan layar yang ada. Sedangkan tawaran layar lipat pun sekadar membuat layar jadi lebar.
Tingkah Samsung itu sepertinya ditanggapi dingin oleh Apple. Mereka tidak mau membocorkan adakah produk ponsel barunya yang membawa kembali revolusi yang mengubah gaya hidup warga dunia.
Kira-kira the next revolution itu akan membuat ponsel beralih rupa seperti apa?