Syahdan, terdapat sebuah ayat Al-Qur’an yang mudah dan jelas, tetapi menjadi susah di tangan para mufasir yang harus menyesuaikan pemahaman mereka dengan sebuah kesimpulan bahwa Islam “semestinya mengundangkan keselamatan ukhrawi hanya untuk pemeluknya. Ayat itu adalah “Sesungguhnya orang-orang beriman serta para yahudi, para nasrani dan para shabi’in, yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal saleh, bagi mereka pahala mereka pada tuhan mereka, tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka.” Ayat 62 Al-Baqarah ini secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, menyamaratakan orang-orang beriman (umat muslimin) dengan para pemeluk agama-agama lain. Terpenting adalah mereka beriman kepada Allah dan hari akhir (yang merupakan inti ajaran semua agama) dan beramal saleh. Jadi, apakah batas yang memisahkan antara Islam dan kufur, atau seseorang disebut muslim atau kafir?
Para ulama yang menjadi referensi kaum skripturalis dan kaum modernis seperti Ibn Taimiah, Abduh dan Sayid Quthb, dan ulama yang menjadi rujukan apa yang sekarang disebut jamaah Islam Nusantara semacam Jalaluddin Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli (Jalalain dan Al-Ghazali, menyatakan bahwa ayat Al-Baqarah itu bebicara tentang warga sebelum kerasulan Muhammad. Dengan demikian, setelah kedatangan syariat baru maka syariat lama dengan sendirinya dihapuskan. Berbeda dengan pandangan Al-Ghazali dan lain-lainnya itu, adalah pendapat Al-Anbari dan Al-Jahizh. Menurut Anbari, semua orang yang berijtihad, yakni mengerahkan akal budi ke arah kebenaran, mengena. Yakni mendapat pahala, sampai pun mengenai masalah pokok agama yang sudah “tidak bisa digugat”, alias dianggap selesai. Sedangkan Jahizh berpendapat, orang yang berbeda kepercayaannya dengan Islam, apakah itu yahudi, nasrani, atau ateis, dan hal itu berlawanan dengan keyakinannya, maka dia pendosa. Jika dia mempertimbangkan, tetapi tidak mampu mencapai kebenaran, dia dimaafkan. Jika tidak mempertimbangkan, karena tidak mengenal kewajiban berpikir, ia juga dimaafkan. Dengan demikian, yang diazab diakhirat adalah orang yang melawan keyakinannya sendiri. Bukankah Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya? Jadi, kafir dalam pengertian Anbari dan Jahizh adalah orang yang melawan terhadap sesuatu yang telah diyakini.
Tahun 1950-an, Mahmoud Syaltout, syekh Al-Azhar, Kairo, Mesir, mengemukakan argumen yang brilian mengenai batas antara Islam dan kufur. Dalam magnum opus-nya, Al-Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, Syaltout menyatakan, seseorang disebut ingkar (kufr) kepada pokok-pokok keimanan Islam, jika dia telah mempelajari akidah-akidah tersebut dan dia puas menerimanya, tetapi karena pamrih tertentu dia menolak memeluknya dan mempersaksikan kebenarannya. Sebaliknya, kata ulama yang memberi nama Al-Azhar untuk masjid di Kebayoran Baru, saat berkunjung ke Jakarta itu, jika dia tidak mendengar ajaran itu, atau ajaran itu sampai kepadanya dengan gambaran yang membuat orang lari, atau gambaran yang benar tetapi dia bukan orang yang bisa mempertimbangkan, aau bisa mempertimbangkan tetapi tidak dikaruniai kecocokan alias taufik untuk itu, sementara dia terus berpikir untuk mencari kebenaran, maka ia tidak menjadi kafir sampai maut menjempunya. Kepada orang-orang yang seperti ini tentu saja tidak bisa dilekatkan predikat kafir.
Jadi, menurut Syaltout, ada kafir dalam pandangan Allah, atau sebut saja “kafir substantif”, yakni yang mengakui kebenaran risalah Muhammad, tetapi menolak. “Mereka mengingkarinya, sementara diri mereka meyakininya, didorong oleh kezaliman dan sikap congkak,” demikian ayat suci yang dikutip Syaltout mengenai “kafir dalam pandangan Allah”. Tampaknya hanya Allah dan yang bersangkutan saja yang tahu mengenai jenis kafir yang satu ini. Sedangkan kafir yang bukan “dalam pandangan Allah” bolelah disebut kafir syar’i atau “kafir administratif”, menurut istilah Syu’bah Asa, alias nonmuslim. Benar, kata Syaltout, mereka tidak dikenai hukum orang Islam yang berlaku antara mereka dan Allah dan antara mereka sendiri. Tetapi mereka bukan kafir sebagaimana dalam pandangan Allah itu. Jika kolom agama dalam KTP masih dipertahankan, mudah ditengara siapa yang muslim dan siapa yang “kafir administratif”. Jika dalam Al-Quran disebutkan, “harus bersikap keras kepada kafir”, tampaknya ditunjukkan kepada mereka yang menolak risalah Muhammad atas dorongan kezaliman dan kecongkakan itu. Bukan kepada mereka sesama kaum beriman yang berasal dari agama-agama itu.
Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar), yang meminta nama ke Syaltout untuk masjid dekat rumahnya di Kebaoran Baru, Jakarta Selatan itu, menyebut ayat yang menyamaratakan orang-orang beriman (kaum muslim) dengan penganut agama-agama lain, sebagai sebuah pesan “perdamaian dan hidup hidup berdampingan secara damai di antara sekalian agama” – dan sebagai orang beriman kepada Tuhan, apa pun agamanya, mereka dituntut untuk melakuan amal saleh. Konflik, perkelahian, di antara pemeluk agama terjadi, karena agama telah menjadi golongan, bukan lagi dakwah kebenaran. Penjelmaan agama sebagai golongan itu akhir-akhir ini kerap kali kita saksikan dalam setiap perhelatan perebutan kekuasaan. Alih-alih sebagai dakwah kebenaran, agama merosot menjadi dagangan politik.
Berangkat dari asumsi mengenai dua kecenderungan di masyarakat yang meremehkan perihal kafir dan mudahnya mengkafirkan orang, Majelis Fatwa MUI melalui Ijtima Ulama 2015 telah mengeluarkan tiga kriteria tentang kafir. Pertama, seseorang dapat dikatakan kafir secara niat yaitu jika dia memiliki segala macam keyakinan yang bertentangan dengan salah satu rukun iman yang enam atau mengingkari ajaran Islam yang qath’i. Kedua, kafir ucapan yaitu segala bentuk ucapan seseorang yang mengandung pengakuan atas akidah kufur atau penolakan terhadap salah satu akidah Islam. Termasuk di dalamnya penistaan agama baik secara akidah maupun syariah. Ketiga, kafir perbuatan yaitu setiap bentuk perbuatan yang mengandung indkator nyata akidah yang kufur.
Menurut MUI, jika seseorang atau kelompok memenuhi salah satu kriteria di atas, maka dapat dikafirkan dengan syarat-syarat vonis kafir. Syarat-syarat itu antara lain ucapan dan perbuatan dilakukan oleh orang dewasa atau sehat akal dan jiwa, tidak terpaksa, stabil emosi, telah sampai kabar dakwah, tidak karena syubhat takwil tertentu atau menafsirkan syariah dengan nafsu, dan penetapan kafirnya seseorang atau kelompok ini sesuai syarat syariah dan bukan opini.
Betapapun, batas yang dibuat MUI untuk memisahkan antara Islam dan kufur tampak “ketinggalan zaman”, atau tidak “mencerahkan” menurut bahasa orang sekarang, bahkan jika dibandingkan dengan argumen Al-Anbari dan Al-Jahizh. Juga dengan apa yang dikemukakan oleh Syekh Al-Azhar Mahmoud Syaltout. Apalagi dengan interpretasi yang diajukan oleh pemikir Muslim kontemporer Asghar Ali Engineer, yang tampaknya lebih relevan dengan situasi dan persoalan yang dihadapi dunia sekarang. Berbeda dengan para ulama umumnya, Asghar Ali menafsirkan kufur dan Islam secara lain. Tokoh yang dkenal vokal dalam membela kaum lemah ini berpendapat bahwa orang Islam bisa kufur, dan orang-orang nonmuslim, atau yang kita sebut “kafir administratif” tadi, bisa Islam. Asghar menafsirkan kekufuran sebagai tindakan yang bercorak menindas, zalim, merusak, dan seterusnya. Wallahu a’lam.