Ads
Muzakarah

Posisi Wanita dan Pengeras Suara

Tadarus Sampai Sahur

Adik Naylovar Rahayu dari Setiabudi, Jakarta Selatan, mengenang pengalaman kurang enak di bulan Ramadan yang lalu. Di musala di dekat rumahnya, para pemuda selalu menyelenggarakan tadarus yang berlangsung sampai saat hampir sahur. Tadarus itu, yang menggunakan pengeras suara, diselang-selingi pula oleh teriakan-teriakan membangunkan para ibu untuk memasak, sementara waktu memasak sebenarnya belum tiba.

Hal itu sangat mengganggu, kata Naylovar. Bukankah lebih baik tadarus dilakukan tanpa pengeras suara? Kasihan ibu-ibu yang tidak sempat istirahat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukum melaksanakan ibadah seperti itu?

Jawaban Ustadz Abu Fitri Firdausi

Yang jadi soal, seperti kata Adik, memang penggunaan pengeras suara itu. Tadarusnya sendiri baik. Tetapi, terutama kalau sudah mendekati tengah malam, sering suaranya lalu campur aduk: ada yang mengaji, ada yang ngobrol, malah ketawa-ketawa. Padahal itu dosa. “Dan bila dibacakan Al Quran, dengarkanlah dan diam, agar kamu beroleh rahmat” (Q. 7:204). Benar pula kata Adik, dengan teriakan-teriakan mereka, yang katanya membangunkan ibu-ibu untuk persiapan sahur, ibu-ibu malah tidak sempat istirahat. Dan bagaimana dengan orang sakit, dengan bayi-bayi, yang semalam-malaman kaget-kagetan? Mikrofon diam, nanti mulai lagi, diam lagi, mulai lagi. Orang-orang mengeluh, tapi tidak berani memprotes.

Di situ tiba-tiba yang disebut “ibadah” berubah jadi gangguan kepada para tetangga. Padahal, kata Rasulullah, “Tidak henti-hentinya Jibril mewasiati aku mengenai (hubungan baik dengan) tetangga, sehingga aku mengira ia akan menetapkan hak waris untuk dia.” Juga sabda Nabi s.a.w., “Orang muslim adalah orang yang (membiarkan) orang-orang muslim selamat dari (kejahatan) lidahnya dan tangannya.” Ya, walaupun lidah itu resminya membaca Quran.

Sebab, mengenai pembacaan Quran pun, banyak sahabat Nabi atau tabi’in yang mengecam penggunaan suara keras. Misalnya Sa’id ibnul-Musaiyib, Sa’id ibn Jubair, Al Qasim ibn Muhammad, Al Hasan, Ibn Sirin, An-Nakha’i. Juga Imam Malik dan Imam Ahmad. Qais ibn Ubad menuturkan, “Para sahabat Rasulullah s.a.w. dahulu tidak menyukai suara keras .dalam zikir.” Rasulullah sendiri bersabda, mengenai cara berdoa, “Rendahkanlah suara kalian. Sebab kalian tidak sedang menyeru tuhan yang tuli atau yang jauh.” lihat misalnya, Qurthubi, Al Jami’li Ahkamil Quran, I, 10).

Karena itu disarankan, khususnya kepada para pengurus masjid, agar tetap memelihara tadarus di malam Ramadan, tetapi dengan pembatasan waktu. Tidak usahlah mengkhatamkan Quran sekian kali, kalau hasilnya malah mafsadah alias perbuatan merusak. Minimal satu juz setiap malam cukuplah, dengan pembacaan pelan-pelan, saling mengoreksi kesalahan (itulah manfaat tadarus), dan dilakukan secara khusyuk. Sesudah itu, mikrofon dimatikan. Siapa yang punya waktu, baguslah bila ingin bertadarus sampai subuh sekalipun, sambil beriktikaf. Tanpa mikrofon. Dan bebas dari riya alias pamer. Mudah-mudahan ada pahala untuk Adik Naylovar, dan siapa pun yang memanfaatkan nasihat ini.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading