(Bab Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan)
Saudara Muhammad Usman dari Yogyakarta menanyakan pandangan Islam mengenai masalah yang tersebut dalam judul di atas. Menurutnya, banyak ayat yang menunjukkan bahwa di hadapan Allah semua manusia setara, dan yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan. Namun kita dapati ajaran agama (atau tradisi kaum beragama?) yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Misalnya hadis mengenai seorang istri yang “akan dilaknat semalaman oleh para malaikat kalau dia tidak mau ‘melayani’ suaminya malam itu”. Saudara Muhammad Usman menyatakan tidak tahu sahih-tidaknya hadis itu. Tetapi, ia bertanya, bagaimana kalau sebaliknya: istri yang berhasrat, tetapi suami menolak?
Dalam kitab fikih pun sangat tampak posisi perempuan yang, menurut Saudara Usman, seolah menjadi abdi suami. Dalam soal perjodohan juga demikian. Seorang gadis boleh dipaksa kawin dengan siapa saja oleh orangtuanya, namun tidak demikian dengan laki-laki. Saudara Usman lalu menanyakan, bagaimana semestinya kita, sebagai orang Islam, bersikap terhadap derasnya isu feminisme yang mengibarkan kesetaraan pria dan wanita?
Jawaban M. Quraish Shihab Lebih dahulu, perlu digaris bawahi kenyataan bahwa memahami teks-teks keagamaan amat sulit dilepaskan dari pengaruh budaya serta perkembangan masyarakat. Di sisi lain, kekeliruan akan terjadi jika memahami teks dilakukan secara parsial (berdiri sendiri) atau terlepas dari konteks.
Saudara benar bahwa sekian banyak ayat menunjukkan persamaan manusia di hadapan Allah, tanpa melihat jenis kelamin, ras, atau warna kulit, dan bahwa yang membedakan mereka hanya ketakwaan. Tetapi budaya mempengaruhi pemahaman terhadap teks. Sehingga tidak mustahil satu teks dipahami orang atau generasi masa lalu atau masyarakat tertentu secara berbeda dengan pemahaman generasi dan atau masyarakat lain. Nah, penempatan wanita di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, dengan mengatasnamakan teks keagamaan, adalah salah satu contohnya.
Kini, kita pun dapat merujuk ke sekian banyak ayat Al Quran yang menunjukkan kemitraan laki-laki dan perempuan dan keharusan mereka bekerja sama dalam berbagai bidang. Bahkan Allah menggunakan istilah ba’dhukum min ba’dh (“sebagian kamu dari sebagian yang lain”) dalam asal kejadian manusia (Q. 3:195), yang berarti bahwa asal kejadian laki-laki dan perempuan sama, yakni dari hasil pertemuan sperma laki-laki dan ovum wanita, sebagaimana ditegaskan dalam Q. 45:13. Bukankah pula dalam kehidupan bermasyarakat Allah melukiskan peranan laki-laki dan wanita sebagai “sebagian mereka penolong sebagian yang lain” (Q. 9:72)? ini mengandung arti bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki keistimewaan dan kelemahan yang mengharuskan mereka bekerja sama. Karena itu pula Allah melarang: “Janganlah kamu iri hati terhadap yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain” (Q. 4:32). Dalam kehidupan suami-istri pun, Al Quran menggunakan kata ba’dhukum ila ba’dh (“sebagian kamu telah bercampur dengan sebagian yang lain”; Q. 4:21). Kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa suami sendiri belum sempurna baru sebagian. Istri pun demikian. Kesempurnaan baru berwujud jika mereka bergabung. Karena itu Pula Allah melukiskan bahwa suami membutuhkan istri dan istri membutuhkan suami bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan seks, tetapi juga dalam banyak hal, bagaikan kebutuhan masing-masing kepada pakaian. “Istri-istri kalian adalah pakaian untuk kalian, sedang kalian adalah pakaian untuk mereka (Q. 2:187). Sedangkan dalam kehidupan rumah tangga “Bermusyawarahlah di antara kamu secara baik” (Q. 65:6).