Ads
Pengalaman Religius

Menemukan Kenikmatan Berwudhu

Memilih jalan kebenaran, menemukan ketenangan, bukan monopoli orangtua. Berikut ini Panji menemui Billy F. Andreas, 28 tahun, karyawan sebuah bank swasta di Jakarta. Pada usianya yang masih muda, dia mengambil keputusan masuk Islam, tanpa paksaan, meskipun untuk itu hubungan dengan keluarganya putus. Ayah yang tengah menunggu kehadiran anak keduanya ini berbagi kisah untuk pembaca.

Apa sih yang membuat gadis ini begitu kukuh? Pertanyaan itu yang membuat saya penasaran. Dan, ternyata mampu mengubah sejarah hidup saya. Ermi Darini, nama gadis itu. Kawan kuliah saya di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana. Kami sama-sama masuk kuliah pada 1987.

Saya orangnya toleran terhadap kawan-kawan apabila mereka melakukan ibadah menurut keyakinannya. Tetapi, karena seringnya kami berjumpa, lama-lama ada yang membuat saya penasaran.

Ermi selalu menunggu waktu salat. Begitu terdengar azan, dia langsung menyempatkan ibadah, walaupun tahu karena itu saya harus menunggu. “Eh, kamu kok kukuh amat sih.” Ditanya begitu, Ermi hanya mengatakan, “Kalau kamu ingin tahu, datang saja ke RISKA (Remaja Islam Sunda Kelapa).” RISKA itu perkumpulan anak-anak remaja di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Di sana, kata Ermi, saya bisa menemui orang bernama Nandang. Saya memang ingin tahu. Apa sih yang membuatnya begitu taat beribadah.

Itu saja dasarnya. Apa salahnya mencari perbandingan. Lagi pula, toh dari garis keturunan ayah di Sulawesi Selatan ada yang muslim juga. Sementara ibu saya sendiri dia pindah agama karena menikah dengan ayah. Saya merasakan sekali, soal agama di rumah sifatnya hanya ikut-ikutan saja. Sungguh berbeda dengan keyakinan pada diri kawan saya, Ermi.

Dari Ermi saya tidak mendapat masukan ajaran Islam. Saya hanya ikut saran dia menemui Nandang. Orangnya ternyata simpatik. Tak pernah menunjukkan hanya satu sisi kebenaran agamanya. Dia masih muda, sekitar dua tiga tahun di atas saya.

Dia hanya memberikan informasi perbandingan, fakta-fakta dari beberapa kitab. Saya menyisihkan waktu setiap Sabtu sore. Pola belajarnya juga longgar sekali. Peminatnya, selain saya adalah anak-anak muda dalam kondisi gamang seperti saya. Jangan membayangkan sebuah gaya kajian yang serius, nggak. Kami mau ikut, silakan, kalau malas, ya kadang tak banyak yang datang. Mas Nandang juga bukan tipe pengajar yang keras apalagi ekstrem. Satu lagi yang menarik, yaitu cara dia menjelaskan Islam. Ia membuka-buka kitab suci lain bersama-sama Al-Quran. Saya tekuni “kelas” Mas Nandang selama setahun.

Peringatan dari Keluarga. Perbuatan saya lama-lama tercium juga oleh orangtua. Ayah saya, pejabat di Pertamina, mulai mendekati saya. Ia mempertanyakan mengapa saya sering datang ke Masjid. Saya berterus terang, ingin mencari kebenaran. Kebetulan sudah ada sedikit-sedikit masukan, berkat pelajaran Mas Nandang. Saya beri tahu kelebihan-kelebihan ajaran Islam.

Dari keluarga, tidak ada debat teologi. Dan saya tahu, itu kurang mereka kuasai. Beliau, sebagai ayah yang baik, mengajak saya menemui pemimpin agama kami di sebelah rumah. Ayah menyampaikan persoalan itu. Tetapi kata rohaniawan itu, “Bapak tidak usah menyalahkan diri sendiri, apalagi merasa gagal mendidik anak kalau dia berubah agama. Anak ini masih bagus, mau mencari kebenaran. Untung masih pindah agama, tidak sampai atheis.” Artinya, saya tidak disalahkan. Mungkin saja dia yakin saya akan menemukan kebenaran dalam perjalanan saya.

Sekembalinya dari rohaniawan tadi, dan hari-hari selanjutnya, saya merasa hidup saya penuh cobaan karena hubungan keluarga dan saya makin dingin. Peringatan mulai muncul. Kalau saya teruskan belajar Islam, silakan jalan sendiri dan keluar rumah. Fasilitas yang biasa saya nikmati, dikurangi. Saya tidak naik mobil lagi, gantinya naik bus kota. Kalau begini, kesempatan hidup nyaman bersama saudara-saudara yang kelak tidak lagi seiman akan hilang?

Namun keyakinan saya tumbuh lagi. Saya melihat, persoalan hubungan sosial akan teratasi dengan sendirinya kelak. Saya makin akrab dengan lingkungan RISKA. Pulang kuliah, kami berdua datang ke RISKA. Kami lalu mencoba mencari kerja, dan sama-sama diterima di bank. Kami jadi bekerja sambil kuliah. Saya makin serius mempelajari Islam. Dan Ermi tahu itu.

Pada awal 1990-an saya memutuskan memilih dia sebagai istri. Hal ini membantu sekali menenteramkan pencarian saya. Karena makin dekat dengan keluarga Ermi, yang asal Purwokerto, saya tahu keluarganya muslim taat. Ermi anak paling besar. Adiknya tiga orang. Keluarganya, cukup intelek dan tak punya pikiran sempit, apalagi menduga saya punya maksud yang tidak-tidak. Mereka tahu saya dalam proses transisi.

Lama-lama, saya sendiri makin yakin akan kebenaran Islam. Saya mencerna beberapa ayat dalam Al-Quran. Kitab itu hanya bersumber dari satu: Allah. Lalu, Al-Quran menyebutkan, pemikiran manusia takkan bisa mengalahkan kekuasaan Allah. Ini benar. Petunjuk lain yang saya rasa amat penting; kalau benar kitab-kitab ini, Al-Quran maupun kitab lain itu berasal dari satu sumber, mengapa kitab sebelumnya tak mampu menjelaskan seperti yang ada pada Al-Quran?

Adapun yang sangat menyentuh pikiran saya adalah Surah Al-Hijr: 22. Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan). Sebuah ketenangan ilmiah yang sudah ada lama sekali saat ayat itu diwahyukan dan kebenarannya baru kita dapatkan pada zaman sekarang. Atau ayat lain yang menyinggung alam semesta, bahkan perjalanan ke antariksa, sampai soal manusia mendarat di bulan. Semua ayat-ayat itu menjangkau masa mendatang.

Mengapa di kitab suci lain tidak ada? Hanya itu, waktu itu, dasar keyakinan saya memilih Islam. Ini ajaran yang mampu memprediksi masa mendatang. Saya juga menjadi paham ternyata masing-masing kitab menyebutkan datang-nya Nabi terakhir. Mengapa soal ini tidak diakui penganut agama lainnya? Inilah yang membulatkan tekad saya memilih Islam. Hal seperti itu tidak dipersoalkan saya memeluk keyakinan lama. Saya akui, dulunya saya hanya ikut tradisi orangtua saya. Turun-temurunlah sifatnya.

Pencarian kalau boleh dibilang demikian kebenaran jalan hidup saya makin mantap. Ada suasana yang melapangkan jalan ke sana. Dalam tempo yang tak terlalu berselisih jauh, saya dan Ermi sama-sama pindah tempat kerja demi perbaikan karier. Pada 1994, saya diterima di Bank Universal, masuk Trade Division (Ekspor-Impor), dan istri saya menjadi karyawati di Bank Yama.

Saya rasakan saat itu, pada waktu saya putus hubungan keluarga, Allah memberi pengganti suasana yang menenteramkan kegamangan saya. Waktu itu, Bank Universal seperti menjadi lahan subur bagi mekarnya kuncup keislaman saya. Di sana ada mushala yang dapat dipakai untuk salat Jumat. Divisi saya kebetulan mayoritas muslim. Masih muda-muda, pandangan keislamannya modern tetapi kuat. Mereka terbuka, enak diajak diskusi. Apalagi kepala divisi saya, Henry Hikmanto, baik sekali. Mendengar saya calon mualaf, dia kerap memberi saya bahan-bahan bacaan.

Sampailah pada suatu hari, Januari 1995. Pada kunjungan kesekian kalinya saya bilang kepada Mas Nandang, “Saya sudah siap masuk Islam.” Mas Nandang mengajak saya ke sekretariat RISKA. Pengurus masjidnya bilang, “Kalau siap, jangan ditunda-tunda. Sekarang saja.” Disaksikan Mas Nandang dan beberapa orang asing yang kebetulan saat itu juga mau bersyahadat, saya ikrarkan dua kalimat syahadat.

Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, saya menandatangani pernyataan masuk Islam, semacam sertifikat. Isinya, saya masuk Islam tanpa paksaan. Sertifikat itu kini tersimpan di safe deposit box Bank Yama.

Saya memasuki masa-masa untuk benar-benar mandiri. Saya lamar Ermi. Orangtuanya yang mengenal saya sebagai teman kuliah Ermi menerima lamaran saya. Kami menikah pada 31 Mei 1995 di Masjid Sunda Kelapa, tepat pada 1 Muharam. Saya memberi tahu keluarga bahwa saya akan menikah, tetapi tidak satu pun yang datang. Akad nikahnya sederhana. Pada waktu resepsi hati saya rasanya berat sekali.

Sejak itu hubungan saya dan keluarga terputus sama sekali. Saya sempat goyang karena masalah materi. Dulu, orangtua saya orang berada. Beliau pejabat di Pertamina. Sekarang, saya mulai segala sesuatu dari nol. Sulit, tetapi harus dijalani. Alhamdulillah semua akhirnya bisa saya atasi.

Hikmah terbesar yang saya peroleh setelah masuk Islam adalah saya mendapatkan ketenangan. Saya punya keyakinan menghadapi masa depan. Saya seperti mendapat kekuatan baru sejak menikah. Saya merasakan telah memikul tanggung jawab sendiri. Soal orangtua saya yang berbeda keyakinan, tidak saya pikirkan. Mereka menanggung sendiri konsekuensi dari keyakinannya. Hanya saja, yang saya takutkan apakah anak saya nanti diterima keluarga? Bagaimanapun, dia punya oma dan opa walau berbeda agama.

Sebelum menikah, calon istri saya sudah mencicil rumah di Depok. Saya membantu per bulannya. Di rumah itulah kami kini tinggal ditemani ayah dan ibu mertua. Saya merasakan peralihan yang tajam dari hidup serba cukup, kemudian mulai dari nol lagi. Tanpa mobil dan harus hidup di kawasan yang baru.

Alhamdulillah, saya mendapat keyakinan, yang sifatnya mendorong semangat. Saat saya memilih Islam, seolah-olah semua keluarga bilang, rasain, kalau kamu masuk Islam silakan hidup susah. Dengan itu saya justru menjadi terdorong untuk membuktikan diri bahwa saya muslim dan saya mampu menjalani hidup layak. Kami, saya dan istri bahu-membahu membangun rumah tangga.

Ketika istri saya hamil, saya dan istri berjalan kaki bersama dari rumah ke jalan raya. Saya hibur dia. Saya bilang itu justru baik. Olahraga yang menyehatkan calon bayi. Pada 12 Maret 1996 putri pertama kami lahir, lewat bedah caesar. Alhamdulillah, selamat. Kami beri nama Dinda Emilia Assadiah. Di rumah, dia biasa kami panggil Sesa karena lahir dengan bedah caesar.

Anak Diterima, Istri Ditolak. Apakah keluarga saya tak mau tahu lagi tentang saya? Nyatanya tidak. Pernah ketika saya, istri, dan anak berjalan-jalan, kami bersua dengan adik bungsu saya. Dulu dia saudara saya yang paling dekat dan menyayangi saya. Tapi dia juga yang paling sakit hati saat saya meninggalkan ajaran lama.

Namun pada pertemuan itu dia duluan yang cair. Dia senang sekali melihat anak saya. Ia gemas pada keponakannya. Mungkin kabar itu yang disampaikannya kepada ayah dan ibu. Suatu hari ayah menelepon saya.

“Apa kabar?” tanya ayah.

“Baik-baik saja. Saya sudah punya anak,” jawab saya.

“Oh, iya. Bawa saja anakmu ke mari.” kata ayah.

Sejak itu, saya mulai membawa Sesa ke rumah oma dan opanya. Opanya sayang Sesa, malah suka membelikan sesuatu buat cucu pertamanya. Memang, seperti kata orang, cucu bisa mencairkan kebekuan antara ayah dan anak. Namun sikap ibu saya masih dingin. Memang, waktu masih serumah, ibu yang paling galak saat tahu saya mempelajari Islam. Setelah punya anak saya maklum bagaimana rasanya kalau anak sulung pindah agama.

Saat saya mulai dekat kembali dengan orangtua, tegas saya nyatakan, kami berbaikan tetapi jangan sekali-kali mengungkit soal agama. Jangan sampai masalah ini meretakkan hubungan yang mulai baik ini. Namun, ayah dan ibu saya belum bisa menerima kehadiran istri saya.

Itu sebabnya, kalau saya menginap di rumah orangtua saya, Ermi tidak ikut. Belum satu kali pun istri saya diterima menemui ayah dan ibu. Mungkin, ini memang bagian cobaan bagi kami. Kami ikhlas menerima keadaan bahwa Sesa bisa diterima sebagai cucu, tetapi istri saya tetap belum bisa diterima sebagai menantunya. Saya tekadkan, ini takkan menggoyahkan apa yang sudah saya yakini.

Penguatan-penguatan keimanan saya banyak terbantu suasana kekeluargaan keluarga istri. Kami ikut pengajian keluarga warga Purwokerto di Jakarta ini. Lalu, ada acara keagamaan lain yang menambah kemantapan beragama. Saya sendiri masih menilai pengenalan Islam saya kebanyakan lewat Nandang.

Saya bandingkan ajaran dari Nandang dengan beberapa penceramah di mushala kantor. Penceramahnya bagus-bagus dan enak diajak tanya jawab. Dulu, ajaran yang saya terima lebih pada ajaran moral. Apa yang dikatakan rohaniawan itu yang kami ikuti. Tetapi setelah masuk Islam, wah, saya harus salat. Lima waktu lagi. Tentu saja sebuah permulaan yang tidak bisa seketika saya jalankan.

Bagaimanapun saya sudah masuk Islam. Saya sendiri mengakui, keislaman saya masih bolong-bolong dalam arti penerapan ajaran yang utuh. Salat saya, kalau di rumah, terutama salat isya masih sering bolong karena tiba di rumah sudah capek. Bagi saya, memang berat masuk Islam. Saya masih harus banyak belajar.

Lain kalau di kantor. Saya terdukung suasana kejamaahan setiap waktu salat. Saat belajar salat pertama kali dari Mas Nandang. Saya tanya, “Apa sih enaknya salat? “Coba saja jalani” kata Mas Nandang. Saya mulai belajar salat, walau belum fasih bacaannya. Saya mulai merasakan nikmatnya berwudhu. Membasahi beberapa anggota tubuh dengan air, kemudian salat. Wah, adem. Tenang.

Kalau lagi emosi, saya turuti nasihat Nandang dan kawan-kawan di RISKA, yaitu berwudhu. Memang, saya mendapatkan ketenangan. Yang pasti, proses memeluk Islam sebaiknya tidak datang dari luar. Seberat apa pun, bagi saya, harus lahir dari diri sendiri. Termasuk dalam mendapatkan keyakinan pentingnya salat. Saya pribadi merasa, harus memilih lingkungan yang mampu mengukuhkan keyakinan ini. Saya tak berani memberi saran apa-apa bagi para calon mualaf. Yang penting, pilihlah Islam bukan atas dasar siapa-siapa. Carilah sendiri kebenaran itu. ■  IQBAL SETYARSO

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda