Hamka

Hamka dan Indonesia Modern

Hamka hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai politikus, ulama, dan pengarang yang tulisan-tulisan nya mengarah kepada perubahan Indonesia. Sesungguhnya diantara mereka ada yang lebih terpelajar, baik dalam pengetahuan Barat maupun studi yang mendalam tentang Islam, dan ada yang mempunyai gagasan yang lebih orisinal ketimbang Hamka. Namun akhirnya Hamka menonjol karena berbagai macam alasan. Berikut ceramah James Robert Rush Mengenai Hamka yang pernah dimuat pada Panji Masyarakat N0. 379, tahun 1982.

Indonesia merupakan contoh klasik yang masyarakatnya dibentuk oleh pengaruh timbal balik ciri masyarakat asli dan institusi kolonial Barat. Dalam proses ini orang pindah dari desa ke kota, mencari pekerjaan yang bagi mereka baru misalnya di perkebunan, pabrik, dan kantor , memasuki sekolah modern, serta mempelajari bahasa-bahasa Barat. Pada zaman kolonial itu masyarakat sexing kali mengalami berbagai pergolakan, seperti perang revolusi dan hambatan-hambatan revolusi lainnya. Di dalam proses pergantian sosial dan politik yang sangat cepat ini, institusi baru didirikan dan institusi lama digunakan untuk maksud-maksud baru misalnya partai politik, organisasi sosial, sekolah dan universitas, pemilihan umum, dan militer. Proses itu penuh pertentangan dan kekacauan, tetapi lewat proses itulah Indonesia lahir dari bekas Belanda. Proses itu juga melahirkan pemimpin berbakat dan mampu mengendalikan serta mengarahkan setiap pergantian.

Para pemimpin yang semasa penjajahan berhasil memberikan pengertian kepada rakyat tentang aspirasi mereka untuk tata politik baru, yang membawa gerakan kemerdekaan mencapai tujuannya, dan akhirnya berhasil mendirikan pemerintahan baru. Mereka inilah yang paling tampak, dan dari segi politik mereka memainkan peranan yang paling penting. Namun, dalam kenyataannya pergantian politik hanya merupakan bagian dari suatu proses. Pergantian politik selalu diiringi dan didorong oleh perubahan-perubahan pengalaman dan ide-ide besar di dunia, dan oleh penyesuaian serta penerapan dari kepercayaan lama kepada kenyataan baru. Seperti dalam pergantian waktu yang cepat, institusi kekuasaan diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi keruntuhan sistem politik yang menuju anarki, maka diperlukan juga formulasi baru terhadap ide-ide dan kepercayaan. Dalam hubungan ini para ulama, reformis agama, cendekiawan, guru, wartawan, dan sastrawan semuanya mengambil peranan penting. Bagi khalayak dan pengikut mereka, orang-orang ini membantu dalam memberi isi dan anti terhadap proses sejarah. Di bidang inilah sumbangan Hamka yang besar sebagai tokoh dalam sejarah Indonesia modern.

Hamka dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, pada dasawarsa pertama abad ini. Jauh sebelum pendudukan Jepang ia sudah menjadi pengarang dan penerbit profesional yang sukses, di samping sebagai mubalig yang dikagumi dan seorang pimpinan daerah Muhammadiyah. Dengan demikian, ia sudah cukup matang pada waktu pendudukan Jepang dan revolusi fisik sebab pada masa itu ia ikut memainkan peranan penting, meskipun peranannya khususnya dalam zaman Jepang kadang-kadang dianggap kontroversial.

Sesudah revolusi ia pindah dari Sumatera ke Jakarta dan meneruskan kariernya sebagai penulis, penerbit, dan mubalig. Selangkah demi selangkah ia menjadikan dirinya tokoh terkemuka dan disegani dalam kehidupan nasional yang sedang berkembang. Dia terlibat di dunia politik, menjadi profesor doktor, mengalami penahanan dua tahun lebih pada waktu rezim Sukarno, dan muncul di televisi. Pada akhir hayatnya, ia menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), suatu kedudukan yang merupakan bukti pengakuan masyarakat atas kepemimipinannya di bidang agama tingkat nasional. Pada masa itu, seperti orang-orang lain pada generasinya, Hamka telah meninggalkan akar-akar ke daerahannya (tidak dapat dibantah bahwa ia seorang Minangkabau, kaum muda, dan anggota Muhammadiyah) dan dengan penuh kesadaran menjadi seorang Indonesia. Perubahan itu, sebagian di antaranya, disebabkan pendidikan Hamka yang terus-menerus. Pendidikan formal Hamka memang terbatas, dan yang terpenting di antaranya berlangsung di madrasah kaum muda di Padang Panjang pada awal 1920 an. Di sini ia belajar bahasa Arab dan menemukan bacaan baru yang merangsang mengenai pembaruan Islam di Mesir dan Timur Tengah.

Hamka adalah seorang yang luar biasa gemar dan rajin belajar. Namun ia juga menjadi seorang yang amat gemar dan rajin menulis, inilah ciri khas Hamka. Dalam berbagai artikel, buku, dan esainya, juga dalam roman atau cerpennya, Hamka menanamkan pada pembacanya hasil pendidikannya. Ia menerapkan apa yang dipelajari dan diyakininya dalam zamannya dan ke dalam proses pada saat Indonesia berkembang, baik sebagai negara maupun yang terpenting sebagai masyarakat. Justru proses inilah belajar dan mengarang yang membuat Hamka sebagai tokoh menarik dan penting dalam studi sejarah Indonesia modern.

Hamka adalah penulis yang tekun dan nonstop. Ia menulis dengan mudah selancar bicaranya, dan ia menerbitkan hampir semua tulisannya. Karena itu, dari pertengahan 1930-an hampir selalu ada tulisan baru dari Hamka di antara buku yang beredar, di samping bukunya yang dicetak ulang. Bagi pembaca Indonesia, khususnya yang menginginkan tulisan bermutu tentang Islam dari segi pandangan modern, Hamka selalu hadir di tengah mereka. Dari segi produktivitas, ia pun paling menonjol dalam generasinya.

Penulis Produktif. Produktivitas tidak hanya konstan, tetapi juga bervariasi. Mulai awal kariernya sebagai penulis pada awal 1920 an, ia mengkombinasikan tulisan-tulisan pelajaran agama dan khutbah (majalah Khatibul Ummah, 1925), laporan (dari Mekah untuk Pelita Andalas pada tahun 1926), dan cerita Hamka menulis cerita pertama Si Sabariah, ditulis dalam bahasa Minangkabau huruf Jawi, tahun 1928. Pola kombinasi seperti itu diteruskan dan mencapai puncaknya pada tahun 1936-1942 ketika Hamka menerbitkan Pedoman Masyarakat di Medan. Ini merupakan tahun-tahun yang menghasilkan sebagian karya Hamka yang terpenting, termasuk di antaranya Tasauf Moderen (4 seri), sebagian novelnya termasuk Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk, serta tulisan-tulisan populer tentang nasihat seperti 1001 Soal Hidup.

Sesudah pendudukan Jepang berakhir, Hamka segera menerbitkan kembali dengan menulis satu seri buku tentang semangat dan anti revolusi (seperti Dari Lembah Cita-cita dan Islam dan Demokrasi), serta novel Menunggu Beduk Berbunyi. Kemudian ia memulai studinya yang terkenal mengenai ayahnya yang berjudul Ayahku dan kenang-kenangan pribadinya yang berjudul Kenang-Kenangan Hidup. Sesudah itu Hamka menghasilkan suatu studi kepribadian populer (Pribadi), laporan-laporan jurnalistik tentang perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah, buku-buku sejarah Islam yang tebal, serta esai-esai mengenai sejarah Indonesia.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an Hamka menerbitkan majalah (Panji Masyarakat dan Gema Islam), menulis terus mengenai berbagai hal, dan melakukan pekerjaan besar yang menimbulkan rasa hormat, yaitu menulis tafsir Al-Quran yang lengkap (Tafsir al-Azhar). Perhatian Hamka tertarik pada bidang yang sangat luas, oleh sebab itu para pembacanya meliputi lapisan yang luas juga. Dapat diduga, pembacanya lebih luas dari pembaca penulis lain, yang dalam spesialisasi mereka sendiri jauh melampaui Hamka.

Gaya tulisannya tidak formal, lincah, berwarna-warni, dan sering beremosi. Gayanya penuh semangat dan penuh dengan ciri khas kepribadian Hamka sendiri. Hamka mempunyai bakat istimewa untuk menarik perhatian para pembaca dan untuk menyederhanakan masalah serta ide-ide yang majemuk. Hamka menulis secara sederhana dan langsung, menjauhi gaya yang kering dan akademis. Dia sering menyelipkan contoh-contoh yang menarik, kadang-kadang puisi dan pencerminan pengalaman pribadi dalam karangannya. Dalam generasinya ia adalah satu di antara penulis dalam bahasa Indonesia yang paling menyenangkan. Walaupun gaya tulisannya tetap diwarnai oleh akarnya sebagai orang Minangkabau, tetapi dia menganggap bahasa Indonesia sebagai suatu unsur yang esensial dalam perkembangan kebudayaan Indonesia yang nasional.

Seperti diuraikan oleh Taufik Abdullah, panggilan utama Hamka adalah panggilan agama. Walaupun dalam hidupnya Hamka melibatkan diri dalam banyak kegiatan terutama menulis dan termasuk yang komersial seperti penerbitan tema utama dalam hidupnya bukan menulis, melainkan Islam itu sendiri. Ayahnya, Haji Rasul, ulama ternama dan gurunya juga ulama-ulama terkenal, di antaranya Sutan Mansur. Hamka menjadi anggota dan pemimpin Muhammadiyah dan Masyumi. Pendidikannya dibentuk dan dibatasi hanya oleh penguasaannya terhadap satu bahasa asing, yaitu bahasa Arab, bahasa Islam. Dia menjadi mubalig yang digemari dan disegani orang sejak masih muda sampai ke akhir hidupnya, dan hampir selama hampir tiga puluh tahun ia menjadi imam besar Masjid Agung al-Azhar di Jakarta.

Karena alasan inilah maka Hamka sejak lama diakui sebagai ulama yang terhormat. Jadi, di mata umat Islam ia punya wibawa, dan wibawa keulamaannya ini memperluas pengaruhnya. Kalau semua karya Hamka dipertimbangkan bersama-sama, dan diperhatikan dalam konteks sejarahnya, kita dapat menemukan beberapa tema utama yang muncul berulang-ulang seperti jelujur bengan merah dalam tenunan. Tema ini merupakan penerapan pendidikan dan pengalamannya atas masalah istimewa yang lahir dari keadaan dan peristiwa-peristiwa di sepanjang hidupnya., baik untuk ia sendiri maupun untuk umat Indonesia pada umumnya. Dapat dilihat bahwa tema ini sangat umum, dan merupakan penerapan ide-ide pembaruan di Indonesia yang ada kaitannya dengan Muhammad Abduh dan pembaru Islam lain. Karena itu pengungkapan ide-ide ini tidak orisinal. Yang penting di sini ialah pengacuan yang khas yang tampak dalam karya Hamka, dan vitalitas serta keteguhan yang selalu mewarnai tulisannya. Yang paling menonojol adalah pandangan luas dan komprehensif, dengan hati nurani Islam tapi tubuhnya Indonesia.

Masyarakat baru yang diharapkan seharusnya bukan masyarakat yang terpecah-pecah dalam ras suku dan kedaerahan seperti ketika Hamka dilahirkan. Sejak masa mudanya Hamka sudah tidak menghiraukan pertentangan-pertentangan kecil antara kaum agama dan adat Minangkabau demi pandangan masyarakat yang luas seperti dianjurkan oleh Muhammadiyah dan gerakan nasionalis yang sedang berkembang, seperti ketika ia menolak dalam pendidikan agamanya pemusatan terhadap pelajaran fikih yang terinci. Kekerdilan dan penyalahgunaan sistem adat, terutama di Minangkabau, merupakan tema yang diulang-ulang dalam ceritanya. Dalam serangannya yang paling gencar terhadap praktek adat, terbit pada 1946, ia membandingkan adat “yang tidak lapuk kena hujan dan tidak lekang kena panas” dengan batu lumutan yang lebih baik disimpan di museum sebagaimana halnya pusaka yang berharga tapi tidak lagi berguna. Meskipun kecamannya terhadap praktek adat makin lemah dalam usia tuanya ketika ia telah menjadi penostalgia arti penting mengatasi kesempitan masyarakat daerah merupakan tema penting dalam pandangan yang menyeluruh. Di antara tema-tema yang menonjol dalam tulisan Hamka adalah sejarah. Hamka menulis banyak buku khusus tentang sejarah, termasuk empat jilid Sejarah Ummat Islam, beberapa tulisan tentang sejarah Islam di Sumatera dan tentang peranan sejarah Muhammadiyah, kumpulan sketsa tokoh dan peristiwa dalam sejarah Indonesia lama, sebuah biografi tentang ayahnya dan sebuah otobiografi.

Tulisan Hamka mengenai sejarah dimuiai dari lahirnya agama dan kebudayaan Islam di tanah Arab dan diakhiri dengan lahirnya Indonesia Merdeka. Bagi Hamka semua ini tercurah dalam satu proses perjalanan sejarah ketika Islam menjadi unsur utamanya. Pandangan tentang sejarah meliputi bidang yang luas (ia sering menyelipkan tentang sejarah Yunani, Yahudi, Prancis, dan Amerika) serta yang khusus, misalnya, ia seorang pencatat silsilah dan fakta-fakta terinci yang tekun. Bagi Hamka mengetahui sejarah sangat penting untuk mempertahankan kelestarian hidup. Orang harus mengetahui hubungan sejarah di tempat mereka dan masyarakat mereka dilahirkan. Pengertian Hamka tentang sejarah tentu saja terbatas dan berat sebelah, lebih menitikberatkan pada peranan Islam pada peristiwa yang terjadi menuju Indonesia merdeka, dengan mengesampingkan faktor penting yang lain. Namun, inilah pandangan sejarah yang dipercaya olehnya benar dan ia coba meyakinkan pembacanya.

Akhirnya saya berpendapat, menarik diamati bahwa pada waktu Hamka menganjurkan pemuda Indonesia untuk menjadi ilmuwan dan ahli teknik (bukan pengarang atau penyair) ia sendiri lebih tekun memusatkan diri pada agama, mengabdikan dirinya untuk dakwah, meneruskan peranannya sebagai imam, dan akhirnya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia.

Dalam studi dan tulisannya tentang kepercayaan dan pengetahuannya yang mendalam, tecermin secara dramatis dalam keberhasilannya menyusun tafsir Al-Quran yang lengkap. Dalam hal ini ia sekali lagi menekankan unsur utama pandangan hidupnya. Sebagaimana Islam menjadi tema utama dalam sejarah, ia juga merupakan tema dalam seluruh kehidupan. Dalam keadaan yang cepat berubah, pergolakan dan kekacauan, Islam merupakan pegangan yang terkokoh. Juga dalam zaman modern ia merupakan sendi yang utama. Dan untuk masyarakat Indonesia yang sedang berkembang, ia merupakan tiang penyangga.

James Robert Rush dilahirkan pada 23 Agustus 1944 di Maryland, Amerika Serikat. Pada 1972 ia memperoleh Ph.D. di bidang sejarah pada Yale University. Disertasinya adalah Opium Farms in Nineteenth Century Java; Community and Cange in a Colonial Society, 1860-1911. la kini mengajar sejarah pada almamaternya.

Sebagai Penulis Populer

Hamka adalah seorang penulis yang tidak hanya produktif dan cakap dalam beberapa hal, tetapi juga populer. Sebelum perang, majalahnya menjadi salah satu di antara yang paling banyak oplahnya dan paling luas peredarannya di Indonesia. Cerita bersambungnya begitu populer sehingga di Aceh, misalnya, orang tidak sabar menunggu di rumah; mereka datang ke stasiun untuk segera mendapatkan sambungan cerita yang baru. Artikel-artikelnya akhirnya dibukukan, dan bukunya dicetak berulang-ulang sampai sekarang. Pada. akhir 1930 an buku-buku Hamka sudah dapat ditemukan dalam perpustakaan sekolah umum, dan para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Popularitas Hamka sebagai penulis penting sekali. Karenanya, karya dan idenya mencapai pasaran yang amat luas. Bagi yang tidak senang membaca buku agama dapat menikmati novelnya; dan untuk golongan yang menganggap cerita roman sebagai sesuatu yang lebih baik dijauhi, novel Hamka dapat diterima dan dibaca karena isinya bersifat agama dan pelajaran moral.

Penulis buku populer sering dianggap tidak konsekuen oleh para inteligensia. Pikiran mereka dianggap ringan. Mereka dituduh merendahkan mutu bukunva supaya lebih sesuai dengan selera massa, terlalu ingin bukunya laris, dan terlalu ingin dibaca banyak orang. Menurut pendirian penulis populer kurang menaruh perhatian atas pemecahan masalah yang rumit, kurang, mempelajari hal-hal yang bersifat filsafat dan politik yang dalam, dan kurang berusaha menulis karya sastra yang bernilai internasional. Mereka mengambil kesimpulan dari ahli pengetahuan dan ahli pikir besar dan mencoba menyederhanakannya supaya orang awam mudah mengerti. (Tapi kadang-kadang ada juga orang yang menyangka bahwa sesungguhnya Si penulislah yang kurang mengerti tentang masalah yang ditulisnya. Hampir semua tuduhan semacam ini pernah dilontarkan kepada Hamka. Dan, sebagian, ada yang benar. Seperti sudah dikatakan di atas, gaya tulisan hamka memang sesuai dengan selera pembaca Indonesia; gayanya populer, dan dilakukan dengan sengaja karena Hamka memang ingin sekali bukunya disenangi orang, apalagi dibeli orang. Juga benar, jika ada yang menuduh Hamka sebagai seorang populizer, seorang penulis yang bukunya kadang-kadang asli hanya dalam cara penyajiannya tetapi tidak dalam isinya. Tetapi dibandingkan dengan peranan cendekiawan, ilmuwan, dan lainnya dalam perkembangan kebudayaan nasional, pengaruh penulis populer luas, justru karena dia populer. Dan Hamka bukanlah penulis populer biasa. Pengetahuannya yang luas dan perhatiannya terhadap banyak bidang memang luar biasa, apalagi Hamka mempunyai satu sifat lain yang cenderung membesarkan pengaruhnya, yaitu wibawa, wibawa keulamaan.

Semangat Nasionalisme                                          

Dimanapun orang Islam hanya bertahan, dan di mana pun mereka kalah. Karena itu di India, Afrika, dan Timur Tengah pemerintah penjajahan Barat juga didirikan. Di kepulauan Indonesia proses ini berlangsung sejak abad keenam belas. Pada 1908, ketika Hamka dilahirkan, proses ini sudah berakhir. Kemunduran peradaban. Islam( merupakan kenyataan yang dapat dirasakan dalam bentuk pemerintahan asing, peraturan asing, pajak asing, dan zending asing. Untuk reformis, yang menjadi sumber penyerapan Hamaka, ini merupakan sumber utama frustrasi dan penghinaan. Bagi Hamka ini bukan saja penghinaan yang ditujukan kepada umat Islam secara kolektif tapi juga pada dirinya sendiri. Sebagian besar semangat dalam tulisannya mewarisi perjuangan untuk menghapus penghinaan tersebut dan untuk membangun sesuatu yang baru di tempat yang sama.

Mengakhiri penghinaan berarti mengakhiri kolonialisme. Sejak 1930-an tulisan-tulisan Hamka dipengaruhi semangat kemerdekaan dan nasionalisme, meskipun ia sendiri bukan seorang politikus nasionalis, tapi yang pasti dia seorang nasionalis. Baik secara terang-terangan maupun terselubung ia banyak menulis hal yang, bersifat subversif terhadap pemerintahan kolonial. Majalahnya, meskipun mengutamakan pendidikan Islam, namun berpihak pada perjuangan antikolonial, ini merupakan tempat berkiprah kaum nasionalis untuk menuangkan pemikirannya, dan sering memuat tokoh yang sedang berada dalam pengasingan, seperti Muhammad Hatta. Tindakan pemerintah Belanda terhadap pemimpin nasional dan orang-orang lain yang dianggap melakukan kegiatan subversif, seperti ayah Hamka, dimuat secara terbuka. Dan tulisan Hamka tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti Imam Bonjol, menitikberatkan watak anti kolonial perlawanannya.

Sesudah revolusi Hamka melanjutkan tema tentang kolonialisme dan segala akibatnya. Ia merayakan kemerdekaan Indonesia dengan segala kegembiraan. Namun dia juga memperingatkan bahaya masih adanya semangat pasif dalam masyarakat Indonesia, jiwa budak, sebagai produk penjajahan yang berlangsung sangat lama. Orang Indonesia tidak bisa lagi dianggap sebagai “bangsa yang sepatuh-patuhnya di dunia”. Karena itu, Hamka sering menganjurkan pembaca (dan pendengarnya) untuk belajar, mendidik diri dan menambah bobot pribadi, di samping menganjurkan mereka mencapai cita-cita yang tinggi dalam arti kata menjadikan dirinya modern. Modernisasi yang meningkatkan teknologi, kemajuan kesehatan, dan kehidupan materi merupakan sesuatu yang harus diyakini, atau lebih tepat, diserap demi keuntungan bangsa Indonesia. Ide Hamka tentang modernisasi barangkali seperti masthead yang dilukiskan dalam halaman pertama Pedoman Masyarakat dalam tahun 1940; di tengah-tengah gambar kapal modern, pesawat terbang, mobil, dan kereta api yang sedang bergerak dan di tengah-tengah gedung kota yang megah ada sebuah rumah Minangkabau, dan yang menonjol, sebuah masjid.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat