Saudari Rani Trisnawati, mahasiswi dari Bandung, pernah bertanya ke rubrik ini tentang kawin siri dan kawin mut’ah. Yang pertama alhamdulillah sudah dijawab, dengan memuaskan, katanya, pada edisi ke-9 (Panji,16 Juni). Tapi yang kedua belum, dan memang kami janjikan untuk edisi berikutnya. Tapi kemudian terhalang,
Dan sekarang Rani menagih. Itu setelah ia membaca sebuah berita di Media Indonesia edisi mingguan. Sebenarnya dulu, katanya, melihat banyaknya teman mahasiswa yang kawin mut’ah dan mendengar alasan sepotong-sepotong yang mereka sampaikan, ia hampir berpikir bahwa mut’ah halal (“Bukan berarti saya ingin mencoba, lho,” katanya). Tapi membaca laporan itu ia berbalik. Ia menyatakan tidak bisa menerima, sebuah organisasi mahasiswa Islam di Jawa Timur kok sampai mengusulkan mut’ah di tempat pelacuran. Padahal pelacuran, menurut Rani, “mengkomoditaskan manusia jenis perempuan” , sedangkan ia juga perempuan. Suratnya keras.
Karena itu ia kembali bertanya tentang hukum nikah mut’ah. “Tolong, Ustadz, buatlah saya yakin seyakin-yakinnya. Terutama, mengapa mereka itu bisa berbeda, padahal sumbernya kan sama?”
Jawaban Ustadz Abu Fitri
Baik. Pertama-tama kami minta maaf, Rani, karena telanjur berjanji. (Lagi pula janjinya, ternyata, tanpa insya Allah! Itulah akibatnya). Itu tidak akan terjadi lagi, mudah-mudahan. Tapi sebenarnya Panji 14 Juli sudah melaporkan panjang lebar masalah mut’ah, yang tentu sudah Anda baca, hanya memang belum membahas secara teknis aspek hukumnya. Maka, dengan mohon kemudahan dari Allah, baiklah kami jawab.
Kawin mut’ah hanya dikenal di kalangan Syi’ah 12 Imam (Syi’ah Imamiah, Syi’ah model Iran). Umat muslimin, dengan puluhan atau ratusan aliran atau kelompoknya, menganggap mut’ah sama dengan zina. Termasuk Syi’ah Zaidiah (di Yaman, terutama), yang akidah maupun praktek keagamaannya persis kita. Belum kami ketahui Syi’ah Isma’iliah yang dikepalai Agha Khan itu. Untuk selanjutnya, Syi’ah dalam tulisan ini hanya yang Imamiah.
Sebenarnya, Rani, mut’ah pada kaum muslimin punya arti lain: pemberian (mantan) suami kepada (mantan) istri, dalam kasus perceraian, sebagai bekal hidup (QS 4: 24). Pada kaum Syi’ah, kata itu dihubungkan dengan salah satu dari dua jenis perkawinan, yakni di samping nikah tetap yang mereka sebut nikah daim (da-im: lestari). Tujuan mut’ah, dikatakan oleh Allamah Thabathaba’i, untuk “memperkecil kejahatan sebagai akibat nafsu manusia, yang bila tidak disalurkan menurut syariat akan menampakkan dirinya dalam berbagai cara yang lebih berbahaya” (Husayn Thabathaba’i, Islam Syiah, 267).
Faktor pertama yang membedakan nikah mut’ah dari yang “daim” adalah penyebutan jangka waktu dalam akad. “Kalau tidak disebutkan, baik karena sengaja maupun lupa, nikahnya dihitung daim.” Adapun “kalau dia hanya menandai jangka itu dengan ‘sekali’ atau ‘dua kali’ (senggama), tidak dengan waktu, batal mut’ahnya, dan menjadi nikah daim, tapi itu problematis”. (Ayatollah Rohullah Khomeini, Tahrirul Wasilah, II: 259).
Nikah mut’ah bisa dilakukan seorang laki-laki walaupun sudah berpoligami bahkan sampai empat. Jumlah perempuan yang boleh dimut’ah “tidak terbatas empat atau tujuh puluh. Silakan bermut’ah seribu kali, karena ia seperti sewa-menyewa, tidak ada talak, tidak ada waris. Sebenarnya mut’ah itu sewa-menyewa.” Itu dituturkan sebagai kata-kata Ja’far Shadiq, imam ke-6 (Muhammad Ath-Thusi, Tandzibul Ahkam, III. 188)
Juga tidak ada pemberian nafkah. Yang ada ialah mahar—biasanya ditentukan berdasarkan negosiasi. Dituturkan dalam Tandzib (II: 188) bahwa Ja’far Shadiq menyebut mahar minimal “sejumput gandum”. Abu Ja’far Ath-Thusi membenarkan bahwa mahar bisa berwujud “sepotong kayu” (Tandzib, II: 190). Tidak ada wali. Jika wali tahu, dan melarang, nikah tetap sah (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu ,VII: 65). Juga tidak ada saksi. Saksi hanya diperlukan dalam nikah “daim”, karena berhubungan dengan soal waris. (Thusi, II: 188).
Alhasil, cukup duaan: si perempuan mengucapkan ijab, yang menyebut lamanya masa perkawinan dan besarnya mahar, si laki-laki melafalkan kabul. Masa perkawinan bisa bertahun-tahun, bisa satu jam. Begitu tempo habis, mereka bukan lagi suami-istri, dan “hendaknya yang satu memalingkan wajahnya dari yang lain” (Thusi, ib id.). Adapun si perempuan bisa seorang muslimah, bisa pula kitabi (Nasrani atau Yahudi), yang tidak bersuami. (Zuhaili, loc. cit.). “Disukai bila perempuan yang dimut’ah orang baik -baik,” kata Khomeini. Mengusut tingkah laku perempuan itu dilakukan sebelum nikah, termasuk apakah ia istri orang atau dalam keadaan ‘idah. Tetapi kalau sudah (telanjur) menikah, mengusut itu makruh (tak disukai agama). Lebih dari itu, “Mengusut itu bukan syarat sah nikah,” menurut Khomeini. Bagaimana kawin mut’ah de-ngan pelacur (yang tentunya tak perlu diusut lagi)? Boleh, tapi makruh, dan si laki-laki hendaknya melarangnya dari berbuat dosa. (Khomeini, II: 261).
Tekanan nikah mut’ah memang pada kesenangan. Karena itu kedua pihak boleh saling menentukan syarat. Apakah senggama hanya akan dilakukan malam hari ataukah siang. Cukup sekali ataukah beberapa kali, setiap jangka waktu tertentu. Si suami boleh melakukan ‘azi (coitus interruptus, jimak terputus), dan, berbeda dengan pada nikah “daim”, ‘azi boleh dilakukan tanpa persetujuan istri 1, 1 (agaknya karena istri mut’ah lebih rendah statusnya dibanding istri nikah “daim”—yang soal sewa-menyewa itu). Tetapi jika si istri punya anak, ia anak suaminya, walaupun si suami sudah melakukan azi—”karena asumsi bahwa sperma sudah terlanjur keluar tanpa kesadarannya”. (Khomeini, II: 260).
Kawin mut’ah juga mengenal idah. Berbeda dengan pada kawin “daim”, idah cukup dua kali masa haid. Buat perempuan yang masih dalam masa haid tetapi tidak berhaid, 45 hari. Jika si perempuan hamil, idahnya sampai ia melahirkan. Tapi untuk berhati-hati, sebaiknya melihat mana yang lebih jauh: jangka sampai ia melahirkan, ataukah 45 hari, ataukah dua kali haid. Bila si laki-laki meninggal sebelum tempo habis, idah wanita empat bulan 10 hari kalau ia kosong rahim. Jika ia hamil, idahnya jangka yang lebih jauh antara empat bulan 10 hari dan jarak ke saat melahirkan. (Khomeini, II: 260-261).
Tetapi mengapa harus beridah, kalau kontrak bisa diperbarui? Tidak. Kontrak hanya bisa diulang, bukan diperbarui—dan itu setelah si wanita beridah. Kecuali jika dalam jangka perkawinan ternyata tidak dilakukan persetubuhan. Atau si perempuan anak-anak yang belum balig. Atau sudah menopause. (Khomeini, II: 259, 260).
Mut’ah Nabi. Saudari Rani, sengaja kami terakan fikih mut’ah ini secara agak lengkap agar kita bisa mewadahi alasan-alasan keagamaannya. Diceritakan bahwa Nabi s.a.w., waktu bermikraj, diberi tahu Jibril bahwa Allah mengampuni dosa setiap perempuan yang bermut’ah. Sementara itu Ja’far Shadiq dikatakan sangat membenci orang yang mati dan belum bermut’ah, ajaran Nabi. Ketika ditanya, apakah Rasul juga melakukannya, ia dikatakan menjawab: “Ya, pernah.” (Al-Qummi, Man La Yandhuruhul Faqih, 329, 330).,
Dan banyak hadis seperti itu. Ada, misalnya, yang menyatakan bahwa siapa membenci mut’ah, ia akan di-bangkitkan di hari kiamat dalam keadaan “kepalanya miring”. Atau, tidak punya hidung”. Atau bahwa anak hasil mut’ah lebih mulia dari anak perkawinan biasa. Atau bahwa cumbu rayu pasangan mut’ah sama dengan zikir dan tasbih, ciuman mereka diberi pahala ibadah haji, bila mereka bersetubuh mendapat kenikmatan sebesar gunung, dan bila mandi jinabat, tiap tetes air mandinya menjadi malaikat yang memuji Allah sampai hari kiamat. Memang, masalahnya ialah apakah hadis-hadis itu sahih. Hadis tentang Nabi bermut’ah itu, misalnya. Dan kalau benar anak mut’ah lebih mulia dari anak biasa, imam manakah yang punya putra mut’ah? Sementara itu hadis yang melukiskan pahala kenikmatan-kenikmatan mut’ah terasa hanya lahir dari khayalan periuk nafsu.
Kalangan Syi’ah sendiri mengakui, bukan main banyaknya hadis mereka yang lemah. Al-Kafi, kumpulan besar hadis Al-Kulaini, “Bukhari”-nya kaum Syi’i, memuat 16.000 hadis. Donaldson, pengarang The Shite Religion, menukil bahwa dari jumlah itu yang bisa dibilang shahih dan hasan (dua kategori yang kita ambil berdasarkan pemakaiannya di dunia Sunni) hanya 5.216 buah. Sehingga bila orang mempertanyakan ajaran Syi’ah (mufah,misalnya, seperti juga pengkafiran para sahabat Nabi) berdasarkan hadis-hadis Syi’ah, kaum Syi’i akan bilang, “Itu kan hadis dhaif.” Tapi sementara itu, tidak seperti di kalangan Sunni, mereka tidak pernah mempqpulerkan mana hadis-hadis yang “tidak berlaku”.
Dari hadis-hadis itu sendiri kelihatan, ajaran mut’ah sebenarnya tidak keluar dari mulut Nabi yang mulia. Melainkan dari Ja’far Shadiq, Al-Baqir, atau yang lain. Tapi memang mayoritas hadis mereka bukan sabda Nabi, melainkan kata-kata para imam. Dan itu disebab-kan sikap Syi’ah yang tak mau tahu informasi apa pun tentang Nabi s.a.w. dari semua sahabat r.a.—yang mereka hukumi sebagai kafir, dalam hadis-hadis yang (dengan sangka baik kita) siapa tahu sekarang ini termasuk yang mereka dhaifkan. Mereka hanya mengambil dari kelompok Ali r.a. Sialnya, beliau-beliau itu sedikit sekali meriwayatkan sabda Nabi.
Satu Kesatuan. Tapi untungnya, orang Syi’ah menganggap kata-kata para imam sebagai hadis, sehingga hadis-hadis mereka bisa banyak sekali. Seorang imam bisa demikian saja mengatasnamakan Nabi, seperti ketika Ja’far Shadiq dituturkan menceritakan bahwa Nabi bermut’ah, sementara jarak antara sang imam dan Nabi hampir satu abad. Alasan populer mereka: para imam, yang turun-temurun keturunan Rasulullah dan maksum (suci, tidak bisa salah maupun lupa), masing-masing mendapat ilmu dari imam sebelumnya, berturut-turut sampai ke Nabi. Alasan filosofisnya: Nabi dan para imam satu kesatuan, dan itu menunjukkan keluasan jangkauan risalah Muhammad s.a.w.
Bagi Ahlus Sunnah, kesatuan seperti itu tak ada, Dan hadis adalah hadis Nabi, yang pemilihannya didasarkan, pertama, pada ada-tidaknya persambungan sanad (mata rantai) sampai ke Nabi, dan kedua pada pengujian masing-masing orang yang menjadi mata rantai itu. Di situlah terletak sumber perbedaan hukum, termasuk dalam ha.lmut’ah, seperti yang ditanyakan Saudari Rani.
Bukan berarti Syi’ah tidak mengenal sanad—yang menghubungkan kita dengan imam, bukan dengan Nabi s.a.w. Hanya, faktor kepercayaan (kepada para imam) dan solidaritas (dengan periwayat para imam itu) menumbuhkan ketidakpercayaan Ahlus Sunnah kepada terbebasnya “hadis keimaman” mereka dari kepentingan ideologi dan identitas—yang dahulu mereka butuhkan dalam rnenghad api penindasan Dinasti Abba siah, setelah Umaiyah.
Perkiraan itu bisa diperkuat oleh situasi ketika hadis-hadis mereka dibukukan. Al-Kulaini (meninggal 328 Hijri, 72 tahun setelah Bukhari), dengan Al-Kafi-nya, yang tertua dari yang empat, hidup di masa yang, menurut Ad-Dahlawi dalam Tuhfah Itsna ‘Asyariah, merupakan saat-saat formulasi ajaran Syi’ah 12 Imam. Yakni pertengahan abad ke-3 H. Kira-kira 70-an tahun setelah Bukhari meneliti hadis dengan metodologi kritik historis yang sangat cerewet dan terbuka, yang dikembangkan-nya dari Syafi’i, baru Kulaini menghimpun bukan main banyak riwayat dari “para sahabat kita” (ungkapan yang banyak dipakai dalam Al-Kafi), dengan metodologi yang di kemudian hari ternyata tidak akurat, lepas dari apakah akurasi memang dimaksudkan Kulaini.
Toh itu tidak menyebabkan Al-Kafi maupun tiga yang lain (Man La Yandhuruhul Faqih Al-Qummi, serta Tandzibul Ahkam dan Al-Istibshar Ath-Thusi) tidak dianggap sahih. Ketika diperkenalkan Ilmu Tanwi’ ul (Klasifikasi) Hadits, yang oleh para fakih mereka dikatakan tidak dikenal para pendahulu, serangan datang —oleh kekhawatiran ilmu itu bakal membahayakan keyakinan akan “kesahihan kitab-kitab kita yang empat” (Al-Musawi Al-Ghuraifi, Qawdidul Hadits, Qomm, 15-17). Betapapun, yang kemudian terjadi memang “penemuan” hadis-hadis shahih dan hasan yang hanya minoritas dalam Al-Kafi, misalnya.
Murid Ja’far Shadiq. Di dunia Syi’ah sendiri, situasi hadis mereka itu kemudian berjalan dengan kenyataan berkem-bangnya pemikiran falsafi, yang dipujikan oleh para pemuka mereka. Atas dasar situasi hadis Syili yang sudah dilukiskan, sangat susah mempercayai kata-kata para imam yang dicantumkan itu sebagai benar-benar kata-kata mereka. Termasuk yang menyinggung bab mut’ah.
Dan itu bisa diperkuat oleh logika. Imam Syafi’i adalah murid Ja’far Shadiq, di samping murid Imam Malik dan murid Abu Hanifah lewat Syaibani. Sedang-kan Abu Hanifah murid ayah Ja’far, Al-Baqir. Syafi’i, dari Malik, mewarisi prinsip “hadis sebagai sumber hukum”. Dari Hanafi, prinsip qias (analogi). Nah, kalau benar mut’ah diajarkan Imam Ja’far, mengapa tidak tecermin barang sebutir pada ajaran Syafi’i? Mengapa pula tidak ada dalam fikih Hanafi, kalau benar Al-Baqir mengajarkan mut’ah? Padahal Hanafi, malah juga Syafi’i, dahulu pendukung politik kaum Ali (Alawi) di hadapan Dinasti? Dan mengapa sekian puluh atau ratus kelompok dalam Islam juga tidak mengenalnya? Jawaban populer: karena adanya pengajaran yang “rahasia”, dari Rasulullah kepada para imam berturut-turut, yang tidak diberikan kepada yang lain. Kalau begini, masalahnya adalah kepercayaan.
Bacaan Syaadzdz. Adapun kalau Saudari Rani pernah mendengar alasan mut’ah yang diambil dari Quran, ayat yang mereka jadikan gantungan adalah bagian dari QS 4: 24: “Maka berdasarkan kesenangan yang kamu peroleh dari mereka (sanggama), serahkanlah kepada mereka maskawin mereka sebagai kewajiban.” Allamah Husain Kasyiful Ghithaa, untuk menjadikan ayat itu penguat ajaran mufah, menyebut bacaan Ubai ibn Ka’b r.a. dan (pernah) Ibn Abbas r.a. yang menambahkan “sampai batas waktu tertentu” (ila ajalin musamma) di belakang “kesenangan yang karna peroleh dari mereka” (istamta’tum bihi minhunna). Allamah ini juga bersandar pada riwayat Thabari yang menganggap ayat itu sebagai pembenaran mut’ah. (Kasyiful Ghithaa, ‘Agaidul Imanyah, 165-168).
Toh Thabari juga memuat pendapat sebaliknya–dan itu tak kurang dari Al-Hasan ibn Ali r.a., kalau bukan juga Mujahid r.a.—bahwa “kesenangan (sanggama)” dalam ayat itu menunjuk kepada nikah. Tafsiran ayat itu lalu menjadi: “Bila kamu kawin dengan wanita, lalu bersanggama dengan dia satu kali, sudah wajib bagimu menyerahkan maharnya seluruhnya”. Sebab ketentuan tentang mahar memang bisa berbeda jika umpamanya perceraian terjadi sebelum senggama. (Thabari, fami ul Bayan, IV: 11-12).
Juga Al-Ghithaa tidak menyebut pendapat Thabari sendiri: “Bahwa mut’ah yang tidak berdasar nikah yang benar adalah haram, sudah kami tunjukkan dalam karangan-karangan kami yang lain, sehingga tidak perlu lagi dibicarakan di sini.” Adapun bacaan Ubai dan Ibn Abbas, yang menambahkan “sampai waktu tertentu”, menurut mufasir dan sejarawan besar ini adalah “bacaan yang bersalahan dengan yang terdapat dalam semua mushaf umat muslimin, sementara tidak boleh seseorang menambahkan dalam kitab Allah Ta’ala sesuatu yang tidak didukung riwayat yang definitif pasti dari beliau yang tidak boleh kita selisihi (Nabi s.a.w.).” (ibid, IV:13). Bacaan menyimpang (syaadzdz) jenis itu bisa lahir dari penafsiran si sahabat pencatat wahyu (Panji, 16 Juni). Tapi bahwa ada penafsiran seperti itu menunjukkan, dahulu Nabi memang pernah mengizinkan mut’ah, di tengah perang—sebelum mencabutnya, seperti direkam paling tidak dua hadis Muslim. Salah satunya: “Rasulullah s.a.w. sudah melarang mut’ah, dan bersabda: ‘Ketahuilah, ia haram sejak hari kalian ini sampai kiamat. Tetapi siapa yang sudah telanjur memberi sesuatu (mahar), jangan mengambilnya kembali’.” Berdasarkan kenyataan bahwa tidak semua sabda Nabi didengar semua sahabat, dan ini banyak buktinya, maka memang masih terdapat juga sahabat yang mempraktekkan mut’ah di masa Umar. Khalifah itu kemudian memperkuat larangan Nabi tersebut. Demikian, Rani, semoga bermanfaat. Wallaahul Musta’ aan. ■